Tolak PPN Naik! Kantor Pajak Bisa Genjot Setoran Tanpa Bikin Sengsara

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dipastikan naik menjadi 12% pada 1 Januari 2025. Hal ini dinilai memberatkan masyarakat berpengeluaran rendah.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebutkan kenaikan tarif PPN ini merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Menurut dia, pelaksanaan tarif PPN baru ini dilanjutkan karena masyarakat sudah memilih pemerintahan baru dengan program keberlanjutan dari Presiden Joko Widodo.

Pelaksanaan tarif baru PPN tersebut akan merujuk pada UU HPP yang telah disahkan pada Oktober 2021. Berdasarkan UU HPP Pasal 7 ayat 1 UU HPP, tarif PPN yang sebelumnya sebesar 10% diubah menjadi 11% pada 1 April 2022. Lalu, kembali dinaikkan menjadi sebesar 12% paling lambat pada 1 Januari 2025.

Kenaikan PPN ini menuai kontra dari berbagai pihak, baik ekonom maupun pebisnis karena dinilai memberatkan keseluruhan masyarakat Indonesia di tengah sulitnya daya beli yang ada saat ini.

Wakil Menteri Keuangan periode 2010-2014 Anny Ratnawati mengungkapkan, ketika harga mengalami kenaikan otomatis akan membuat permintaan turun, dan ujungnya mengganggu penjualan dari sektor industri atau bisnis.

“Dalam teori umum kalau harga naik itu pasti demand turun, artinya itu nanti akan punya implikasi balik ke pengusaha,” kata Anny dalam program Power Lunch CNBC Indonesia dikutip Rabu (20/3/2024).

“Jadi saya menangkap ini sebagai warning yang relevan, karena itu kita harus tetap waspada,” tambah Anny.

Oleh sebab itu, dia menekankan kenaikan pajak itu tidak hanya akan menekan daya beli masyarakat karena harga-harga barang yang naik, melainkan juga akan menurunkan aktivitas bisnis di dalam negeri karena penjualannya menjadi semakin lesu.

Tanggapan Pengusaha dan Ekonom

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno mengaku lebih setuju pemerintah menaikkan tarif pajak penghasilan badan (PPh Badan), ketimbang tarif PPN menjadi 12%.

Benny menjelaskan, PPh Badan lebih baik dinaikkan pemerintah untuk mencari tambahan penerimaan pajak saat ketimbang PPN, karena pengenaan PPh Badan dibayarkan setelah catatan untung dari wajib pajak badan.

“Kenapa enggak PPh Badan saja dinaikkan, karena itu kan setelah untung baru dibagi,” dalam program Profit CNBC Indonesia, dikutip Selasa (19/3/2024).

Sementara itu, untuk PPN ia mengatakan semakin dinaikkan malah akan menekan daya beli masyarakat di tengah tekanan pendapatannya yang terus menerus tergerus inflasi. Pengusaha pun akan terimbas karena penjualan produknya akan semakin merosot.

“(PPN) ini jadi beban semua baik produsen maupun ke konsumen,” ucap Benny.

“Kalau PPh Badan kan baru dari untung, kalau enggak untung enggak dibagi, jadi fair. Kalau ini kan enggak, mau untung, mau rugi, baik produsen dan konsumen semua ikut memikulnya,” tegasnya.

Untuk diketahui, PPh Badan Indonesia cenderung lebih rendah jika dibandingkan dengan negara lainnya sebab PPh Badan Indonesia pada tahun Pajak 2020, 2021, dan 2022 tercatat sebesar 22%.

Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan PPh Badan dunia yang berada di angka 23% pada 2019 dan Afrika yang di kisaran 28,2%.

Sepanjang 2023, kinerja PPh Badan tercatat impresif di tengah tren penurunan harga komoditas dunia. Jenis pajak ini membukukan pertumbuhan sebesar 20,26% (year on yaer/yoy). Sejalan dengan pertumbuhan PPh Badan yang double digits, realisasi PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 26 juga mengalami hal yang sama. Realisasi PPh Pasal 21 tumbuh 15,54% (yoy) sejalan dengan perbaikan utilisasi dan upah tenaga kerja.

Sementara itu, PPh Pasal 26 tumbuh 15,7% (yoy) sejalan dengan kinerja positif perusahaan.

Kontribusi PPh Badan berdasarkan jenis pajak utama tergolong salah satu yang paling besar yakni 21,93% pada akhir 2023. Angka ini sedikit lebih rendah dibandingkan dengan kontribusi PPN Dalam Negeri yang sebesar 25,49%.

Berdasarkan kontribusi penerimaan pajak Desember 2023, dampak kenaikan PPh Badan tidak akan sebesar jika PPN DN dinaikkan dengan asumsi jumlah yang dikenakan pajak tidak mengalami perubahan.

Namun jika PPN dinaikkan dengan kondisi ekonomi dan daya beli masyarakat belum membaik, maka penerimaan dari PPN hanya akan tumbuh tipis atau bahkan menurun. Hal ini berdampak kurang baik karena secara total, penerimaan pajak Indonesia berpotensi tersendat yang jika dielaborasi dapat berdampak pada defisit APBN yang semakin melebar.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira juga menilai pemerintah harus membatalkan rencana kenaikan PPN menjadi 12% pada 2025 dari yang saat ini sebesar 11% tarifnya.

Bhima menganggap, pemerintah sebaiknya menerapkan pajak kekayaan, ketimbang menaikkan PPN di tengah melambatnya tren konsumsi masyarakat. Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), konsumsi rumah tangga pada kuartal IV-2023 hanya tumbuh 4,47% secara tahunan, turun dari kuartal III-2023 yang tumbuh 5,06%.

“Jadi pemerintah sebaiknya mulai membuka pembahasan pajak kekayaan (wealth tax), pajak anomali keuntungan komoditas (windfall profit tax), dan penerapan pajak karbon sebagai alternatif dibatalkannya PPN 12%,” kata dia, Senin, (18/3/2024).

Bhima mencontohkan penerapan pajak kekayaan. Dia bilang pemerintah bisa membuat kategori 10% wajib pajak dengan aset terbesar. Kemudian pemerintah dapat menentukan tarif pajak kekayaan yang dihitung dari aset yang dimiliki orang kaya tersebut.

“Contohnya tarif pajaknya 2% dari net asset atau kekayaan bersih, maka orang kaya dengan aset Rp 10 triliun akan dipajaki Rp 200 miliar per tahunnya,” kata Bhima.

Jika berkaca dari 10 orang terkaya di Indonesia 2023 versi Forbes, maka total net asset 10 orang terkaya tersebut sekitar Rp2.619 triliun.

Dengan asumsi tarif pajak 2%, maka sekitar Rp52 triliun dapat menjadi penerimaan negara secara instan setiap tahunnya.

Hal ini menjadi angin segar bagi penerimaan negara karena pajak tersebut dapat digunakan untuk keperluan pembangunan Negara.

Sumber: cnbcindonesia.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only