Aturan Penerimaan Pajak Ekonomi Digital, Ini Landasan Regulasinya

Jakarta. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan telah menghimpun penerimaan pajak sebesar Rp22,18 triliun dari sektor usaha ekonomi digital hingga 29 Februari 2024.

“Hingga 29 Februari 2024, pemerintah mencatat penerimaan dari sektor usaha ekonomi digital sebesar Rp22,179 triliun,” kata Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Dwi Astuti di Jakarta, Kamis.

Angka tersebut terdiri dari pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) sebesar Rp18,15 triliun, Pajak Kripto sebesar Rp539,72 miliar, Pajak Fintech (P2P Lending) sebesar Rp1,82 triliun, dan pajak yang dipungut oleh pihak lain atas transaksi pengadaan barang dan/atau jasa melalui Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (SIPP) sebesar Rp1,67 triliun.

Pada Februari 2024, pemerintah telah menunjuk 167 pelaku usaha PMSE sebagai pemungut PPN, termasuk empat penunjukan pemungut baru dan satu perubahan data pemungut. Pelaku usaha yang baru ditunjuk di bulan tersebut adalah Tencent Cloud International Pte. Ltd., Blacklane GmbH, Razer Online Pte Ltd, dan Social Online Payments Limited. Sedangkan pembetulan data dilakukan pada Coda Payments Pte. Ltd.

Dari total pemungut yang telah ditunjuk, 153 PMSE telah melakukan pemungutan dan penyetoran PPN PMSE senilai Rp18,15 triliun. Setoran ini terdiri dari Rp731,4 miliar pada tahun 2020, Rp3,90 triliun pada tahun 2021, Rp5,51 triliun pada tahun 2022, Rp6,76 triliun pada tahun 2023, dan Rp1,24 triliun pada tahun 2024.

Penerimaan pajak kripto sebesar Rp539,72 miliar terdiri dari penerimaan PPh 22 atas transaksi penjualan kripto di exchanger sebesar Rp254,53 miliar dan penerimaan PPN DN atas transaksi pembelian kripto di exchanger sebesar Rp285,19 miliar.

Pajak fintech (P2P Lending) mencapai Rp1,82 triliun, yang terdiri dari PPh 23 atas bunga pinjaman yang diterima oleh Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) sebesar Rp596,1 miliar, PPh 26 atas bunga pinjaman yang diterima oleh Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) sebesar Rp 219,72 miliar, dan PPN DN atas setoran masa sebesar Rp999,5 miliar.

Sementara itu, penerimaan pajak dari usaha ekonomi digital lainnya, seperti pajak SIPP, mencapai Rp1,67 triliun. Penerimaan ini terdiri dari PPh sebesar Rp 113,85 miliar dan PPN sebesar Rp 1,56 triliun.

Pemerintah akan terus menunjuk para pelaku usaha PMSE yang melakukan penjualan produk atau pemberian layanan digital dari luar negeri kepada konsumen di Indonesia untuk menciptakan keadilan dan kesetaraan berusaha bagi pelaku usaha konvensional dan digital.

Selain itu, pemerintah juga akan memperluas potensi penerimaan pajak dari sektor ekonomi digital, seperti pajak kripto dan pajak fintech, serta pajak SIPP atas transaksi pengadaan barang dan jasa melalui Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah.

Sekilas tentang dasar aturan penerimaan pajak digital

Dikutip dari cips-indonesia.org, pemerintah Indonesia telah menerapkan regulasi pajak digital untuk memastikan aktivitas ekonomi digital berkontribusi pada pendapatan negara. Landasan hukumnya adalah UU No. 2 Tahun 2020 dan PMK No. 60/PMK.03/2022.

Saat ini, PPN 11 persen diterapkan pada produk digital luar negeri yang dijual di Indonesia, dipungut oleh pelaku usaha yang ditunjuk. DJP telah berhasil mengumpulkan Rp 13,87 triliun pajak digital hingga 31 Juli 2023.

Pajak Penghasilan (PPh) juga diterapkan pada penyedia jasa asing yang memiliki “Kehadiran Ekonomi yang Signifikan” di Indonesia.

Regulasi ini bertujuan menciptakan keadilan antara pelaku usaha digital dan konvensional, serta meningkatkan pendapatan negara.

Sumber : tempo.co

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only