Dengan tarif efektif (TER), penghasilan yang diterima karyawan lebih rendah dari ekspektasi
Potongan pajak tunjangan hari raya (THR) bagi pegawai tetap ramai diperbincangkan di jagat media sosial. Sebab, karyawan mengeluhkan besarnya potongan pajak yang membuat penghasilan yang mereka terima lebih sedikit dari ekspektasi.
THR sebagai tambahan penghasilan tentu memiliki aspek perpajakan, khususnya pajak penghasilan (PPh) Pasal 21. Hal ini diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58 Tahun 2023 dan aturan turunannya, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 168 Tahun 2023.
Beleid itu mengatur tarif efektif rata-rata (TER) guna menyederhanakan penghitungan pemotongan PPh Pasal 21. Simplifikasi ini langsung mengalikan penghasilan bruto dengan tarif efektif rata-rata, menurut kondisi penghasilan tidak kena pajak (PTKP) karyawan.
Misalnya, seorang karyawan tetap dengan status menikah belum punya anak (PTKP K/0) menerima penghasilan bulanan Rp. 10 Juta dan dikenai tarif TER bulan bersangkutan sebesar 2%. Sehingga besaran PPh Pasal 21 terutang bulan bersangkutan Rp. 200.000.
Namun pada April, karyawan ini juga menerima THR Rp. 10 juta sehingga penghasilan brutonya menjadi Rp. 20 juta dan dikenai tarif TER sebesar 9%. Untuk itu, besaran PPh Pasal 21 yang terutang bulan itu adalah Rp 1,8 juta.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jendral (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Dwi Astuti menjelaskan, untuk kasus wajib pajak yang menerima THR, dengan metode penghitungan PPh Pasal 21 sebelum TER maka pemberi kerja akan melakukan dua kali penghitungan dengan tarif pasal 17, yaitu PPh 21 untuk gaji dan PPh 21 untuk THR.
Sedangkan dengan penerapan TER, maka pemberi kerja tinggal menjumlahkan gaji dan THR yang diterima pada bulan bersangkutan dikalikan tarif sesuai tabel TER. “Jumlah PPh Pasal 21 yang dipotong pada bulan diterimanya THR memang akan lebih besar dibandingkan bulan-bulan lainnya karena jumlah penghasilan yang diterima lebih besar, sebab terdiri dari komponen gaji dan THR,” ujan Dwi dalam keterangan resminya, Rabu (27/3).
Belanja Lebih rendah
Namun, dia menegaskan, perhitungan PPh Pasal 21 menggunakan TER tidak akan menambah beban pajak. Sebab, tarif TER diterapkan untuk mempermudah penghitungan PPh Pasal 21 masa pajak Januari-November.
Sementara pada masa pajak Desember, pemberi kerja akan memperhitungkan kembali jumlah pajak yang terutang dalam setahun menggunakan tarif umum PPh Pasal 17, dan dikurangi jumlah pajak yang sudah dibayarkan pada Januari-November. Alhasil, beban pajak yang ditanggung wajib pajak akan tetap sama.
Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai, semakin tinggi penghasilan bruto karyawan tetap, maka akan semakin berdampak akibat skema baru tersebut. “Tak cuma itu, mereka yang di bawah PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) yang seharusnya bebas pajak, tapi karena digabungkan dengan THR, maka bisa kena pajak,” ujar Fajry, Kamis (28/3).
Alhasil, penghsailan yang akan diterima akan lebih sedikit. “Jumlah spending di hari Lebaran pasti akan lebih rendah dari yang seharusnya,” ungkap Fajry.
Ekonom Center of Economics and Law Studies (Celios) Nailul Huda juga menilai, konsumsi masyarakat akan terpengaruh penghasilan setelah dipotong PPh 21 dengan menggunakan skema TER.
Permintaan kali ini berpotensi tak setinggi Lebaran tahun-tahun sebelumnya, meski beban pajak dalam satu tahun sejatinya tidak berubah.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia Economic Fiscal (IEF) Research Institute Ariawan Rahmat melihat bahwa karyawan penerima THR akan tetap membelanjakan uangnya sehingga skema TER ini tidak akan mempengaruhi penurunan daya beli pada saat momen Lebaran.
“Jadi masyarakat akan tetap menggunakan sebagaimana biasanya. Artinya, menjelang hari raya akan terjadi lonjakan belanja konsumsi masyarakat yang tentu akan berdampak positif pada perekonomian Indonesia pada momen Lebaran seperti biasanya,” terang dia.
Sumber : Harian Kontan, Sabtu 30 Maret 2024, Hal 2
Leave a Reply