DJP: Pengeluaran Terkait Natura Silakan Dibiayakan, Asal Penuhi 3M

Ditjen Pajak (DJP) mempersilakan wajib pajak untuk membebankan imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan sebagai biaya. Topik ini menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Senin (22/4/2024).

Syaratnya, biaya yang timbul akibat pemberian natura dan kenikmatan berkenaan dengan pekerjaan dan jasa merupakan biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan (3M). Jika 3M terpenuhi maka natura biaya atas natura bisa dikurangkan dari penghasilan bruto.

“Silakan wajib pajak ketika ada pengeluaran terkait natura dan kenikmatan, silakan dibebankan. Namun demikian, semuanya harus terkait dengan 3M,” ujar Penyuluh Pajak Ahli Madya DJP Yudha Wijaya.

Sesuai dengan FAQ PMK 66/2023 yang dirilis oleh DJP, telah ditegaskan bahwa seluruh imbalan sehubungan dengan pekerjaan dan jasa baik berupa uang, barang, ataupun fasilitas adalah biaya 3M. Imbalan bukan biaya 3M bila UU PPh mengatur lain.

Selain informasi soal natura, terdapat pula bahasan mengenai piutang tak tertagih yang dapat dibiayakan, ketentuan pemajakan atas dividen pemilik PT perorangan, syarat perpanjangan pelaporan SPT Tahunan, serta aspek perpajakan UMKM yang diklaim lebih sederhana oleh DJP.

Daftar Nominatif Natura Perlu Dilampirkan di SPT

Meski pengeluaran natura dan kenikmatan secara umum bisa dibiayakan sepanjang unsur 3M terpenuhi, perlu diingat bahwa wajib pajak memiliki kewajiban untuk membuat daftar nominatif imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan. Daftar nominatif tersebut perlu dilampirkan pada SPT Tahunan.

Karena DJP belum menerbitkan aturan lebih lanjut mengenai daftar nominatif biaya natura dan kenikmatan, wajib pajak dapat mencontoh format daftar nominatif biaya promosi sebagaimana diatur dalam PMK 2/2010.

Merujuk pada daftar nominatif dalam PMK 2/2010, informasi terkait biaya natura dan kenikmatan yang perlu dicantumkan antara lain nama penerima, NPWP penerima, alamat penerima, tanggal pemberian, bentuk dan jenis biaya, nilai, jumlah PPh, dan nomor buku potong. (DDTCNews)

Syarat Piutang Tak Tertagih yang Dapat Dibiayakan

Piutang tak tertagih dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan bruto sepanjang memenuhi kriteria pada Pasal 6 ayat (1) huruf h UU PPh s.t.d.t.d UU HPP. Ketentuan tersebut diatur lebih lanjut pada PMK 207/2015.

Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan bruto sepanjang mampu memenuhi 3 persyaratan. Di antaranya, telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial dan daftar piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih telah diserahkan kepada DJP. (DDTCNews)

Dividen Pemilik PT Perorangan Bisa Bebas Pajak

Dividen yang diterima oleh pemilik PT perorangan dapat dikecualikan dari objek PPh sepanjang memenuhi kriteria Pasal 24 PMK 18/2021.

Merujuk pada Pasal 14 Peraturan Menteri Keuangan 18/2021, dividen yang dikecualikan dari objek PPh merupakan dividen yang berasal dari dalam negeri atau luar negeri yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri.

Kemudian, Pasal 24 PMK 18/2021 menyebut dividen yang dikecualikan dari objek PPh merupakan dividen yang dibagikan berdasarkan rapat umum pemegang saham atau dividen interim sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (DDTCNews)

Ingat Ini Agar Tak Kena Sanksi Saat Perpanjang SPT Tahunan

DJP mempersilakan wajib pajak badan mengajukan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan pajak penghasilan (PPh) apabila membutuhkan.

Perpanjangan dapat diajukan apabila wajib pajak badan tidak bisa menyampaikan SPT Tahunan PPh sesuai dengan batas waktu yang ditetapkan karena alasan tertentu. Namun, wajib pajak tetap perlu memperhatikan batas waktu untuk pelaporannya agar tidak dikenai sanksi akibat terlambat melaporkan SPT Tahunan. (DDTCNews)

DJP Sebut Perhitungan Pajak UMKM Sudah Sederhana

Perhitungan pajak penghasilan bagi UMKM dinilai sudah cukup sederhana. DJP menyatakan pemerintah memiliki berbagai insentif pajak untuk mendukung pengembangan UMKM agar naik kelas.

Penyuluh Pajak Ahli Muda DJP Rian Ramdani mengatakan pemerintah telah memberikan tarif pajak yang lebih rendah dan skema penghitungan yang sederhana untuk pelaku UMKM. Selain itu, terdapat ketentuan omzet sampai dengan Rp500 juta tidak kena pajak bagi wajib pajak orang pribadi UMKM.

Melalui PP 23/2018, pemerintah juga menurunkan tarif pajak dari semula 1% menjadi hanya 0,5% atas omzet UMKM. Wajib pajak dapat menikmati tarif PPh final 0,5% jika omzetnya masih di bawah Rp4,8 miliar per tahun.

Wajib pajak UMKM juga tidak perlu melakukan pembukuan, tetapi cukup membuat pencatatan secara sederhana. Pencatatan diperlukan untuk mempermudah wajib pajak mengetahui kewajiban perpajakannya.

Sumber : news.ddtc.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only