HWI Jadi Prioritas Pengawasan Pajak, IKAPRAMA Bantu Wajib Pajak Pahami Strategi Tata Kelola yang Efektif

Dalam dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2025, pemerintah memprioritaskan pengawasan pajak kepada Wajib Pajak High Wealth Individual (HWI). Direktorat Jenderal Pajak (DJP) pun mulai melakukan serangkaian upaya penguatan ekstensifikasi serta pengawasan terarah dan berbasis kewilayahan kepada Wajib Pajak HWI tersebut. Oleh karena itu, Ikatan Alumni Prasetiya Mulya (IKAPRAMA) Share Interest Group (SIG) Financial Club menggandeng Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Selatan II (Kanwil DJP Jaksel II) menggelar webinar untuk membantu Wajib Pajak HWI memetakan strategi tata kelola perpajakan yang efektif. Strategi ini diharapkan dapat memitigasi adanya cost of compliance, meningkatkan kepatuhan perpajakan, sekaligus mendorong pertumbuhan bisnis dan perekonomian nasional.

Webinar yang didukung oleh Pajak.com ini diikuti oleh sekitar 85 peserta dengan 3 narasumber utama, yaitu Fungsional Pajak Ahli Madya Kanwil DJP Jaksel II Fransiska Yansye; Fungsional Penyuluh Pajak Ahli Pertama Kanwil DJP Jaksel II Irla Putri Safitri; dan alumnus Magister Management Business Management (MMBM) 38 Universitas Prasetiya Mulya, Pengurus IKAPRAMA Financial Club, dan Partner RDN Consulting Leander Resadhatu Rusdiono.

Kriteria HWI

Mengawali pemaparan materi, Pengurus IKAPRAMA Financial Club, dan Partner RDN Consulting Leander Resadhatu Rusdiono menuturkan bahwa kebijakan perpajakan 2025 diarahkan untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan menuju Indonesia Emas 2024. Saah satu kebijakan teknis yang diprioritaskan pemerintah adalah pengawasan Wajib Pajak HWI.

“Di sisi lain, pemerintah juga perlu menciptakan sistem perpajakan yang efektif dan efisien untuk mendorong peningkatan perekonomian nasional.  Kami mencoba mengambil dari kaca mata konsultan bagaimana menyikapi prioritas kebijakan perpajakan yang memprioritaskan pengawasan pada Wajib Pajak HWI. Kita bisa mendiskusikannya dengan memahami definisi HWI. Menurut Knight Frank (Kantor konsultan dan real estat global), HWI adalah orang yang memiliki kekayaan bersih minimal 1 juta dollar AS (Amerika Serikat) atau setara dengan Rp 15 miliar,” jelasnya.

Resadhatu juga mengutip kriteria HWI dari jurnal ilmiah berjudul ‘Analisis Pengaruh Investable Asset Terhadap Penghasilan Dalam Angka Penggalian Potensi Pajak HWI di Indonesia”, yang di dalamnya merujuk pada laporan The World Wealth Report 2019, The US Monetary and Exchange Commission, dan Wealth X Higher Network Camp 2019. Laporan itu menyatakan, HWI di Indonesia memiliki 3 kriteria, yaitu pertama, memiliki harta bersih di atas Rp 10 miliar dengan total penghasilan di atas Rp 3 miliar per tahun (dalam 3 tahun terakhir). Kedua, masuk dalam rilis data orang kaya oleh media tepercaya. Ketiga, pemilik grup bisnis.

“Saya juga mencoba melihat lagi, sebenarnya bagaimana populasi Wajib Pajak WHI di Indonesia? Ternyata ada tren yang menarik, dari tahun 2011 sampai 2016 terdapat pertumbuhan, tapi memang pertumbuhannya signifikan dari 2016 ke 2017 (129 persen). Saya menganalisis, mungkin salah satu faktornya adalah adanya tax amnesty,” ujar Resadhatu.

Ia turut menyebutkan data dari The Wealth Report yang menyatakan bahwa jumlah penduduk Indonesia yang memiliki kekayaan lebih dari 30 juta dollar AS  pada tahun 2023 mencapai 1.479 orang. Angka ini menunjukkan peningkatan sebesar 42 persen dari tahun 2022 yang sebanyak 1.420 orang dan diproyeksi tumbuh 34,1 persen pada 2028 atau 1.980 orang.

“HWI memiliki karakteristik khusus yang membedakannya dengan Wajib Pajak prang pribadi lainnya, yaitu sebagian besar penghasilan yang diperoleh HWI berasal dari passive income. Komposisi jenis penghasilan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak Penghasilan (PPh) Tahunan Wajib Pajak orang pribadi, sekitar 22.700 merupakan HWI dengan kriteria memiliki penghasilan lebih dari Rp 3 miliar dan total harta bersih melebihi Rp 10 miliar pada 2017 dan 2018. Hal ini mengindikasikan, sumber penghasilan Wajib Pajak HWI sebagian besar berasal dari passive income, yaitu capital gain, dividen, bunga, dan sewa,” ungkap Resadhatu.

Dengan data dan penetapan kebijakan prioritas pengawasan kepada HWI ini diharapkan dapat menjadi pemahaman penting bagi Wajib Pajak dengan menyusun strategi pengelolaan perpajakan yang efektif dan efisien. Di sisi lain, ia menggarisbawahi, Wajib Pajak HWI perlu terus meningkatkan kepatuhan perpajakannya karena pemerintah telah memiliki berbagai data pendukung pengawasan.

“Pemerintah sedang melihat lagi data-data Wajib Pajak HWI. Apalagi nanti ada perubahan 21 proses bisnis dalam core tax, semua data terbuka karena ada AEoI (Automatic Exchange of Information), Bukan menakut-nakuti Wajib Pajak, tetapi keterbukaan dan integrasi data semakin kuat, DJP berupaya melakukan pengawasan dengan akurat,” ungkap Resadhatu.

Strategi Tata Kelola Perpajakan yang Efektif dan Efisien

Strategi tata kelola perpajakan yang efektif dan efisien bagi Wajib Pajak HWI adalah dengan memahami konsep Data Unit Keluarga (DUK) dan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Sebab apabila keliru dalam menerapkan 2 konsep fundamental perpajakan tersebut, maka Wajib Pajak HWI berkewajiban membayar pajak berlipat-lipat—menimbulkan pajak berganda.

Untuk itu, materi mengenai perbedaan DUK dan PTKP disampaikan oleh Fungsional Pajak Ahli Madya Kanwil DJP Jaksel II Fransiska Yansye.

DUK

DUK merupakan data yang berisi kepala keluarga dan seluruh anggota keluarga sebagai satu kesatuan ekonomi sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 Undang-undang PPh, yaitu:

  1. Untuk Wajib Pajak pria kawin, DUK meliputi data yang ada di dalam Kartu Keluarga (KK) dan menjadi tanggungannya—anggota keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis sebagaimana yang termaktub dalam UU PPh dan sesuai dengan data Dukcapil Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri);
  2. Untuk Wajib Pajak wanita kawin yang pisah harta, DUK hanya terdiri dari Wajib Pajak itu sendiri; dan
  3. Untuk Wajib Pajak pria dan wanita yang belum kawin, DUK meliputi Wajib Pajak dan data tanggungan menurut kondisi yang sebenarnya, baik dalam satu KK maupun pada KK lain.

Konsekuensi penggabungan dan pemisahan NPWP antara istri dan suami:

– NPWP digabung:

  • Keuntungannya hanya ada 1 SPT tahunan;
  • Ada penyederhanaan pelaporan dalam hal pemotongan PPh 21; dan
  • Usaha/pekerjaan istri tidak terkait dengan usaha/pekerjaan suami.

– NPWP dipisah:

  • Terdapat 2 SPT tahunan;
  • Untuk menentukan PPh terutang, penghasilan neto suami-istri digabung terlebih dahulu; dan
  • Pelaporan harta dalam SPT tahunan akan terpisah, sehingga jelas peruntukannya.

PTKP

PTKP adalah batasan penghasilan Wajib Pajak orang pribadi yang tidak dikenai pajak. Dengan kata lain, jika penghasilan seseorang belum melewati ambang batas PTKP, maka individu itu belum dikenai PPh. Sebab sejatinya PPh dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak (PKP). Adapun besaran PTKP adalah sebagai berikut:

  1. Wajib Pajak orang pribadi memiliki besaran PTKP Rp 54.000.000;
  2. Tambahan untuk Wajib Pajak kawin memiliki besaran PTKP Rp 4.500.000;
  3. Tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan suami memiliki besaran PTKP Rp 54.000.000; dan
  4. Tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak tiga orang untuk setiap keluarga memiliki besaran PTKP Rp 4.500.000.

Contoh DUK dan PTKP 

Keluarga Rahadianto memiliki keluarga dan tanggungan dalam DUK sebagai berikut:

KK 1:

  1. Istri (tidak bekerja);
  2. Anak ke-1 (sekolah); dan
  3. Anak ke-2 (sekolah).

KK 2:

  1. Ayah mertua (pensiunan); dan
  2. Adik ipar (sekolah).

Maka, status PTKP Rahadianto adalah K/3 dengan rincian sebagai berikut:

  • Istri;
  • Anak 1;
  • Anak 2; dan
  • Ayah Mertua.

Contoh Penghitungan PPh dalam konsep DUK dan PTKP

Sinar adalah seorang pengacara terkemuka di kota Jakarta. Peredaran bruto usaha tahun 2019 adalah Rp 1,5 miliar. Sedangkan, istri (Mentari) adalah seorang akuntan dengan peredaran bruto Rp 800 juta per tahun. Keduanya dikaruniai 3 orang anak.

 1. PPh terutang suami jika NPWP digabung:

  • PPh neto = Rp 1,5 miliar X 51% = Rp 765 juta;
  • PPh neto = Rp 800 juta X 50 %   = Rp 400 juta;
  • Total PPh neto                      = Rp 1.165.000.000;
  • PTKP (K/I/3)                        = Rp (126.000.000);
  • PKP                                        = Rp 1.039.000.000;
  • PPh terutang                                    = Rp 256.700.000.

2. PPh terutang suami jika NPWP dipisah:

  • PPh terutang suami = (penghasilan neto suami/total penghasilan neto) X PPh terutang
  • = (Rp 765.000.000/Rp 1.165.000.000) X Rp 256.700.000.
  • = Rp 168.562.661.

Sebagai informasi, pemutakhiran DUK dapat dilakukan Wajib Pajak melalui aplikasi DJPOnline, Kantor Pelayanan Pajak (KPP) terdekat, atau Kring Pajak. Pemuktahiran DUK juga sangat penting dilakukan dalam rangka implementasi kebijakan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai NPWP.

  • Pajak atas Dividen 

Selain memahami mengenai perbedaan DUK dan PTKP, strategi tata kelola perpajakan yang efektif dan efisien yang perlu dipahami Wajib Pajak HWI adalah mengenai pajak atas dividen. Materi ini disampaikan oleh Fungsional Penyuluh Pajak Ahli Pertama Kanwil DJP Jaksel II Irla Putri Safitri.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), dividen atau penghasilan lain dapat dikecualikan dari objek PPh, sepanjang diinvestasikan di wilayah Indonesia dalam jangka waktu tertentu. Dalam hal tidak memenuhi kebutuhan investasi tersebut, Wajib Pajak harus menyetor sendiri PPh yang terutang dengan tarif 10 persen dan bersifat final.

Sumber : www.pajak.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only