Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyelenggarakan rapat internal mengenai laporan perkembangan Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP) atau core tax. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melaporkan bahwa kesiapan soft launching core tax ditargetkan pada Desember tahun 2024. Ia juga menyampaikan, implementasi core tax dapat meningkatkan rasio pajak hingga 1,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
“Saya bersama Dirjen Pajak (Suryo Utomo) mempresentasikan mengenai pelaksanaan pembangunan core tax system di Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Seperti diketahui, bapak presiden telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2018 untuk pembangunan core tax, agar DJP mampu untuk terus meningkatkan kemampuan IT (information technology) base dan data yang semakin reliable. Kita upayakan perbaikan sistem administrasi ini bisa meningkatkan tax ratio hingga 1,5 persen dari PDB. Maka, core tax kami harapkan bisa selesai sekitar Desember 2024 dan bapak presiden berencana akan soft launching core tax yang akan ditetapkan waktunya,” ungkap Sri Mulyani saat memberikan keterangan pers di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, (31/7).
Ia mengatakan, Jokowi meminta pengembangan core tax dan seuruh program reformasi perpajakan yang tengah dilakukan oleh DJP mampu meningkatkan rasio pajak. Pasalnya, rasio pajak Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan negara anggota ASEAN dan G20.
Sebagai gambaran, rasio pajak Indonesia pada tahun 2022 berada pada level 10,41 persen dari PDB atau paling rendah dibandingkan negara ASEAN dan G20. Di ASEAN, rasio pajak tertinggi dicapai Vietnam sebesar 22,7 persen dari PDB, lalu disusul Kamboja 20,2 persen dari PDB, Thailand 16,5 persen dari PDB, Singapura 12,8 persen dari PDB, dan Malaysia 11,4 persen dari PDB. Sementara di negara G20, seperti Amerika Serikat mencatatkan rasio pajak pada level 26,58 persen dari PDB; Denmark, Prancis, dan Finlandia mencapai pada kisaran 40 persen hingga 47 persen dari PDB.
“Berbagai studi sudah dilakukan bahwa perbaikan organisasi, sumber daya manusia (SDM), termasuk IT system bisa memberikan kontribusi terhadap tax ratio kita sekitar 1,5 persen dari PDB. Sementara perbaikan policy maupun regulasi bisa memberikan kontribusi hingga 3,5 persen dari PDB. Jadi, total potensi bisa sekitar 5 persen dari PDB,” jelas Sri Mulyani.
Urgensi Pembangunan “Core Tax”
Ia juga menjelaskan, urgensi pengembangan core tax didasari oleh peningkatan jumlah Wajib Pajak serta dokumen yang harus diproses oleh sistem yang canggih, terintegrasi, dan andal.
“Ini sesuai dengan tantangan yang semakin tinggi, di mana jumlah Wajib Pajak kita meningkat dari 33 juta menjadi 70 juta dan jumlah dokumen yang harus diproses oleh sistem pajak kita juga meningkat, seperti e-Faktur kita yang tadinya 350 juta dokumen sekarang meningkat menjadi 776 juta dokumen,” ungkap Sri Mulyani.
Dengan demikian, pembangunan IT system dan database perpajakan dalam core tax ini merupakan hal yang sangat penting. Terlebih core tax akan meningkatkan otomatisasi dan digitalisasi seluruh layanan administrasi perpajakan, yaitu Wajib Pajak bisa melakukan layanan mandiri dan pengisian Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan/masa dengan otomatis, sehingga transparansi dari Wajib Pajak akan semakin meningkat.
“Wajib Pajak bisa melihat 360 degree review dari seluruh informasi perpajakan mereka. Layanan menjadi lebih cepat, lebih akurat, real-time dan untuk pengawasan penegakan hukumnya juga bisa lebih akurat dan adil,” ujar Sri Mulyani.
Core tax juga didesain agar DJP memiliki data yang lebih kredibel, jaringan terintegrasi, dan kapabel melakukan keputusan berdasarkan knowledge dan data. Hal ini diyakini mampu meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak yang bermuara pada kenaikan rasio pajak sekaligus penerimaan negara.
“Semenjak (tahun) 2018, kita sudah mulai mendesain perubahan dari sistem perpajakan ini dengan mengadopsi Commercial off The Shelf (COTS) system yang sudah digunakan oleh berbagai negara di dalam rangka untuk membangun sistem perpajakan yang baik. Saat ini, kami sudah melakukan berbagai macam uji coba dengan 21 modul proses bisnis yang berubah dengan scope klaster, meliputi, layanan dan pengumpulan data, data analitik, pengawasan dan penegakan hukum serta, sistem pendukungnya,” jelas Sri Mulyani.
Sumber : www.pajak.com
Leave a Reply