Membaca Arah Kebijakan Pajak Prabowo

PRESIDEN Prabowo Subianto telah menetapkan visi perpajakan yang ambisius untuk pemerintahannya ke depan.

Target utamanya mendongkrak rasio pajak (tax ratio) hingga 23 persen dari produk domestik bruto (PDB) nasional. Selama ini, rasio tersebut mandek di sekitar angka 10 persen, lebih rendah dibanding rata-rata Asia-Pasifik sebesar 19,3 persen.

Optimalisasi pajak pun menjadi salah satu sasaran utama dalam pemerintahan Prabowo. Selain karena banyak potensi penerimaan yang belum tergali, peningkatan kebutuhan anggaran juga menjadi salah satu alasannya.

Asta Cita pemerintahan Prabowo merencanakan berbagai program prioritas yang dipastikan akan menaikkan kebutuhan anggaran pemerintah.

Program quick win di 100 hari pertama pemerintahannya seperti program makan bergizi dan pemeriksaan kesehatan gratis membutuhkan belanja senilai Rp 117 triliun (Kompas.id, 4/9/2024).

Sepanjang 2025, total belanja negara diperkirakan akan sebesar Rp 3.613 triliun. Untuk menyediakan dananya, pajak sebagai sumber terbesar pendapatan negara kini ditargetkan lebih tinggi.

Pada APBN 2025, target penerimaan pajak ditetapkan sebesar Rp 2.189 triliun. Jumlah ini naik 10,1 persen dari target 2024 dan untuk pertama kalinya dalam sejarah nasional menembus Rp 2.000 triliun.

Target tersebut sebenarnya tidak mustahil untuk tercapai. Pasalnya, dalam tiga tahun terakhir, penerimaan pajak senantiasa berhasil melampaui targetnya di bawah kepemimpinan Menteri Keuangan Sri Mulyani.

Terlebih lagi, sebagaimana yang saya tulis dalam “Satu Dekade Kebijakan Pajak Jokowi” (Kompas.com, 13/10/2024), pemerintahan Prabowo telah memiliki fundamental kuat di bidang perpajakan yang diwariskan oleh pemerintahan Jokowi.

UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang ditetapkan pada 2021 membuka jalan bagi pemerintahan Prabowo untuk memperluas sumber penerimaan pajak melalui kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dan implementasi pajak karbon.

Tarif PPN sebesar 12 persen yang rencananya berlaku mulai Januari 2025, diproyeksikan mencetak penerimaan negara senilai Rp 945 triliun. Angka ini tumbuh 16 persen atau sebesar Rp 135 triliun dari target PPN di outlook APBN 2024.

Sementara itu, ada juga pajak karbon yang direncanakan berlaku mulai 2025 dan dikenakan atas aktivitas yang menghasilkan polusi udara. Tarifnya dipatok paling rendah Rp 30.000 per ton karbon dioksida (CO2) yang dihasilkan.

Sebagai catatan, Indonesia menghasilkan setidaknya 1,3 miliar ton karbon dioksida ekuivalen sepanjang 2022. Dengan tarif paling rendah saja, pajak karbon berpotensi menambah penerimaan negara sebesar Rp 39 triliun.

Realisasinya tentu bisa lebih rendah atau lebih tinggi mengingat belum ada aturan lebih lanjut yang merinci mekanisme dan batas pengenaan pajak karbon.

Kedua kebijakan perluasan pajak tersebut sebenarnya cukup memadai untuk memenuhi kenaikan target penerimaan pajak di tahun depan. Namun, untuk mengangkat rasio pajak, dibutuhkan kebijakan yang lebih revolusioner.

Oleh karena itu, optimalisasi penerimaan pajak pada 2025 sebenarnya akan lebih bertumpu pada keberhasilan implementasi sistem baru administrasi perpajakan. Sistem bernama Coretax tersebut telah dibangun sejak 2022 dengan realisasi anggaran senilai Rp 977 miliar.

Ditargetkan berlaku mulai Januari 2025, sistem Coretax nantinya menyatukan seluruh layanan perpajakan ke dalam portal daring (online) yang bersifat tunggal.

Penyederhanaan administrasi tersebut diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan perpajakan secara sukarela di masyarakat.

Sistem Coretax juga diyakini akan meningkatkan efisiensi otoritas pajak dalam mengawasi kepatuhan pajak.

Salah satu bagiannya, yakni penyatuan nomor induk kependudukan (NIK) dan nomor pokok wajib pajak (NPWP), akan memudahkan pengawasan potensi pajak yang belum dilaporkan.

Selain meneruskan kebijakan pajak era Jokowi, pemerintahan Prabowo juga telah menyiapkan sejumlah kebijakan pajak baru. Sampai saat ini, kebijakan pajak yang dikabarkan akan berlaku di awal pemerintahan Prabowo utamanya berbasis insentif.

Pertama, ada rencana memangkas tarif pajak penghasilan (PPh) perusahaan dari semula 22 persen menjadi 20 persen. Rencana ini sebenarnya pernah digagas juga beberapa tahun lalu.

Pemerintahan Jokowi pernah berencana menurunkan tarif pajak penghasilan badan usaha menjadi 20 persen mulai 2022. Saat itu, insentifnya menjadi bagian dari stimulus ekonomi yang diluncurkan kala pandemi Covid-19.

Namun, karena dampak pandemi yang sudah mulai pulih, rencana tersebut akhirnya dibatalkan. UU HPP kemudian memutuskan untuk melanjutkan tarif 22 persen yang sudah berlaku sejak 2020.

Kedua, pemerintahan Prabowo juga berencana menghapus pajak atas pembelian rumah dan properti.

Total tarif pajak yang dihapuskan sebesar 16 persen, terdiri dari PPN sebesar 11 persen dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebesar 5 persen. Stimulus ini bertujuan mendorong kepemilikan hunian di masyarakat.

Selain melalui insentif pajak, ada juga program pembangunan 3 juta unit rumah per tahun untuk menurunkan angka backlog perumahan yang saat ini mencapai 12,7 juta unit.

Fasilitas bebas PPN serupa sebenarnya sudah ada sejak November 2023. Namun, sasarannya terbatas pada rumah yang harga belinya paling tinggi Rp 5 miliar dengan PPN yang dibebaskan maksimum Rp 440 juta.

Meski terkesan bertentangan dengan upaya meningkatkan penerimaan pajak, kebijakan berbasis insentif yang dicanangkan Prabowo sebenarnya positif bagi perekonomian dan juga kinerja penerimaan pajak.

Pemangkasan pajak perusahaan, misalnya, memberikan sisa keuntungan yang lebih besar bagi perusahaan. Tambahan keuntungan tersebut bisa digunakan untuk diinvestasikan kembali ataupun meningkatkan operasi usaha. Kedua hal tersebut bisa meningkatkan penyerapan tenaga kerja.

Hal yang sama juga akan terjadi dari insentif penghapusan pajak properti. Meningkatnya pembelian properti akan mendorong perusahaan pengembang (developer) untuk membangun lebih banyak unit perumahan. Kebutuhan tenaga kerja di sektor tersebut juga akan ikut meningkat.

Meningkatnya penyerapan tenaga kerja akan membuat total pendapatan di masyarakat ikut meningkat. Pendapatan tersebut yang kemudian akan dibelanjakan dan menjadi penghasilan lagi bagi orang lain.

Siklus tersebut akan terus berlanjut karena ekonomi sebenarnya bekerja secara sirkuler: pendapatan yang dibelanjakan satu pihak akan menjadi pendapatan bagi pihak lain. Ini adalah efek pengganda (multiplier effect) dari pemberian insentif pajak.

Penerimaan pajak penghasilan perusahaan dan pajak properti mungkin akan menurun sebagai efek dari pemberian insentif. Namun, dalam cakupan lebih luas, penerimaan pajak dari sektor lain akan meningkat karena bertambahnya pendapatan dan konsumsi di masyarakat.

Insentif fiskal merupakan pilihan kebijakan yang tepat di masa awal pemerintahan Prabowo. Dampaknya bisa menstimulasi pertumbuhan ekonomi yang akan ikut meningkatkan penerimaan pajak.

Namun, kebijakan insentif ini menimbulkan ketidakpastian terkait kelanjutan beberapa kebijakan lainnya, seperti berakhirnya tarif pajak khusus untuk UMKM dan kenaikan tarif PPN.

Apakah kedua kebijakan tersebut akan tetap dilanjutkan pada 2025 menjadi keputusan pemerintahan Prabowo, meski kebijakannya ditetapkan oleh pemerintahan Jokowi.

Penundaan maupun perubahan kebijakan tersebut memerlukan penetapan undang-undang dan peraturan pemerintah baru sebagai penggantinya.

Selain itu, kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen juga sudah diperhitungkan dalam target penerimaan pajak di APBN 2025. Artinya, untuk membatalkan kenaikan tersebut, APBN yang terkait juga harus dilakukan perubahan.

Tugas yang menanti pemerintahan Prabowo tidak berhenti di memutuskan kedua kebijakan tersebut. Keputusan membentuk Badan Penerimaan Negara juga turut dinantikan.

Jika badan tersebut terbentuk, maka akan ada pemisahan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) dari Kementerian Keuangan yang selama ini menaunginya. Ini bukan keputusan sederhana.

Kedua institusi tersebut menopang sekitar 80 persen dari jumlah pegawai di Kementerian Keuangan.

Pemisahan tersebut tidak hanya akan berdampak pada Badan Penerimaan Negara yang dibentuk, tetapi juga arah Kementerian Keuangan setelah tidak lagi menjalankan fungsi utamanya mengelola pajak dan bea cukai.

Meski demikian, pemisahan tersebut tetap memungkinkan untuk dilakukan. Pasalnya, beberapa lembaga pemerintah saat ini sebenarnya juga pernah menjadi bagian dari Kementerian Keuangan sebelum akhirnya dipisahkan menjadi institusi tersendiri.

Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dulunya menjadi Direktorat Jenderal Pengawasan Keuangan Negara di bawah Departemen Keuangan sebelum akhirnya menjadi lembaga non-kementerian mulai 1983.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang dibentuk pada 2012 juga merupakan pengganti dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) yang dulu pernah berada di bawah naungan Kementerian Keuangan.

Bagaimanapun hasil kebijakannya, inovasi dalam tata kelola fiskal mutlak dibutuhkan untuk bisa meningkatkan rasio pajak ke depan.

Harapannya, era pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo akan melanjutkan reformasi perpajakan untuk membangun kinerja pendapatan fiskal searah dengan pertumbuhan ekonomi.

Sumber: kompas.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only