Opini: Menakar Pajak Kekayaan

Agus Marto Wardojo saat masih menjabat Menteri Keuangan, mengungkapkan keprihatinan mendalam tentang empat ribuan perusahaan asing (multinasional) yang tidak membayar pajak selama bertahun-tahun. 

Keprihatinan yang sama juga diartikulasikan Bambang Brodjonegoro, Menteri Keuangan.

Sayangnya, kedua Menteri Keuangan tidak mengungkap lebih jauh identitas perusahaan yang tidak bayar pajak itu. 

Padahal kalau serius mau mengembangkan tata kelola pemerintahan terbuka, mestinya Kementerian Keuangan mendisklosur identitas perusahaan  itu.

Ilustrasi di atas mengandung implikasi yang serius terhadap penerimaan pajak. 

Apakah tidak bayar pajak empat ribuan perusahaan itu semata terkait problem ketidakpatuhan fiskus ataukah lebih karena ketidakmampuan pemerintah memungut pajak?  Apa sebenarnya terjadi?

Itulah alasan antara lain penetapan enam agenda dalam RPJM, yaitu pendapatan negara, rasio perpajakan, belanja negara, keseimbangan primer, surplus/defisit, dan posisi utang.

Jika pemerintah  konsisten menjalankan keenam agenda, niscaya ada perbaikan kualitas pertumbuhan ekonomi karena adanya multiplier effect. Apalagi pemerintah  mematok pertumbuhan ekonomi 8 persen.

Secara spesifik, Pemerintah berusaha keras memperkuat basis perpajakan dan memperbaiki rasio pajak yang hanya berkisar antara 10-12 persen. 

Menurut Rizky (2024), rasio perpajakan menurun dari 10,85 persen (2014) menjadi 10,12 persen (I-2024), sehingga lebih rendah dibandingkan negara  seperti Malaysia dan Thailand, yang memiliki rasio pajak di atas 15 persen. 

Oleh karena itu, produktivitas perekonomian kita masih bisa dipacu lewat instrumen pajak kekayaan sebagai salah satu cara untuk meningkatkan kontribusi pajak terhadap PDB.

Self assessment

Fungsi pajak selain mengumpulkan penerimaan negara, juga mendorong pertumbuhan dan pemerataan ekonomi.

Dalam upaya akselerasi rasio perpajakan, bangunan sistem perpajakan Indonesia didirikan dan ditopang oleh filosofi dan konsep fundamental yang dianut UU KUP. Ciri penting UU KUP adalah beralih dari official assessment jadi self assessment.

Sistem perpajakan yang semula menitikberatkan pada pembayaran pajak berdasarkan penetapan oleh petugas pajak, berubah menjadi sistem yang memberikan kepercayaan kepada wajib pajak  menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan kewajiban perpajakannya sendiri. 

Fiskus atau aparat pajak sesuai fungsinya berkewajiban melakukan pembinaan, penelitian, dan pengawasan terhadap pelaksanaan kewajiban perpajakan.

Dalam tataran praktis untuk memobilisasi dana publik, pemerintah berasumsi semua wajib pajak adalah orang atau pengusaha yang telah memiliki pengetahuan pajak, kesadaran pajak, kejujuran, kemauan membayar pajak, disiplin pajak, moral dan etika.

Persoalan  menjadi lain ketika wajib pajak berpegang pada dalil bahwa sepanjang ada cara yang diperbolehkan meringankan mengapa harus membayar pajak dalam jumlah besar? 

Hal ini bisa dilihat, salah satu parameternya adalah masih adanya gap antara omset atau kekayaan dibandingkan jumlah pajak yang dibayar. Karena itu, mekanisme check and balances tetap diperlukan untuk memastikan self assessment sesuai ketentuan.

Problem yang pelik adalah tak satu pun wajib pajak yang betul-betul konsisten menerapkan self assessment Setiap entitas memiliki derajat dan kecenderungan sendiri dalam menerapkan prinsip self assessment.

Meskipun secara prinsip dan teknis distingsi self assessment sangat bermanfaat, namun dalam praktiknya terdapat sejumlah masalah. 

Solusi mengatasi masalah ini bukan melulu pada tataran kerangka kelembagaan, kebijakan, prosedur, administrasi, dan perangkat lunak. Lebih dari itu, apa jawaban ideologis dan politis kita terhadap persoalan itu?

Loopholes

Pajak kekayaan, yang juga disebut pajak modal atau pajak ekuitas adalah pajak yang didasarkan pada nilai pasar aset yang dimiliki pembayar pajak. 

Menurut IMF yang dikutip Hukumonline.com (2022), terdapat tiga jenis pajak kekayaan, yaitu: berdasarkan nilai harta; Kedua,berdasarkan transfer kekayaan, dan Ketiga, berdasarkan kenaikan nilai suatu aset.

Urgensi implementasi pajak kekayaan tak hanya lewat kebijakan teknis saja, tetapi dalam kerangka regulasi. Tentu disadari bahwa semua peraturan perundang-undangan tentang pajak di manapun di dunia ini memiliki loopholes atau celah hukum. 

Loopholes inilah yang sering dimanfaatkan  wajib pajak mengurangi kewajiban pajak.

Selain itu, ada kecenderungan mengurangi jumlah kewajiban pajak sebagian dipicu ketidakpercayaan terhadap institusi dan aparat pajak seperti kongkalikong wajib pajak dengan instansi dan aparat pajak ditopang oleh kewajiban wajib pajak melakuan self-assessment.

Persoalan menjadi rumit ketika dihubungkan dengan argumen sikap hakiki dari wajib pajak adalah mencari semua keringanan pajak. 

Pada titik ini, menurut Lubis (2015), bagi yang terlalu berani mengambil risiko, mereka melakukan tax avoidance (penghindaran pajak dengan memakai cara legal) dan tax evasion (penghindaran pajak dengan memakai cara-cara ilegal).

Misalnya, terkait pola tax evasion terdapat dua modus. Pertama, wajib pajak menyimpan kekayaaan di beberapa kawasan sekretif (tempat menyimpan aset ilegal). 

Kedua, karena sekretif, problem pemerintah dalam relasinya dengan kawasan sekretif adalah terjadinya informasi asimetris. 

Pemerintah kita saat ini tak tahu siapa saja wajib pajak, perusahaan apa saja, di mana, berapa dan dalam bentuk apa kekayaan WNI yang disimpan, atau disembunyikan di kawasan sekretif.

Dalam kondisi seperti ini, saya khawatir bahwa tujuan pajak kekayaan itu tidak akan berhasil. Pajak kekayaan hanya akan memberikan keuntungan yang tak seharusnya dinikmati mereka yang seharusnya membayar pajak. 

Apalagi kita semua tahu bahwa hampir semua wajib pajak selalu memperbesar pengeluaran dan belanja untuk memperkecil kewajiban pajak,

Di luar masalah simplifikasi, persoalan lainnya yang juga timbul dalam konteks aktivitas perburuan rente, ketika banyak kepentingan yang melilit tubuh pemerintah membuat perpajakan sulit direformasi. 

Sebab, akar persoalannya pada kekuasaan itu sendiri (politiko-birokrat) yang bersekutu dengan pihak-pihak lain untuk tujuan yang bersifat material.

Desain kebijakan

Pengambil kebijakan fiskal mesti paham peta dan implikasi atas seluruh kebijakan perpajakan yang di produksi, terutama menyangkut implementasi pajak kekayaan. 

Mengingat rendahnya kesadaran wajib pajak terhadap kewajiban perpajakannya, tidak optimalnya peran pemerintah dan lemahnya penegakan hukum serta relasional dengan lembaga perbankan asing dan keuangan multilateral yang relevan dengan pajak kekayaan.

Konsekuensinya, negara wajib campur tangan untuk memastikan apakah ekosistem perpajakan di Indonesia berjalan sesuai prinsip-prinsip keadilan, keterbukaan, efisiensi dan kepastian hukum. 

Jika tidak: akan menimbulkan kegaduhan baru, yang berarti kontraprofuktif bagi perekonomian nasional.

Dengan deskripsi tersebut, desain kebijakan pajak kekayaan yang diajukan memang bertahap, sistematis, tetapi progresif. Pertama, mengkaji implikasi perubahan kebijakan pajak kekayaan terhadap perubahan penerimaan pajak. 

Jika tidak meningkatkan penerimaan pajak secara signifikan, maka kebijakan tersebut sebaiknya tidak diambil.

Kedua, meminimalisasi kemungkinan terjadinya pengemplang pajak melalui kontrol arus modal keluar yang ketat. Hal ini diajukan dengan pertimbangan penghindaran pajak banyak dilakukan oleh penduduk kelas menengh ke atas dengan cara melarikan modalnya ke luar negeri. 

Kontrol ini dapat berlangsung jika ada kerja sama antara pemerintah dengan lembaga perbankan asing dan keuangan multilateral.

Dimaksudkan untuk menggali dan mengumpulkan data dan informasi yang relevan dengan kewajiban bayar pajak. Disinilah letak penting dan strategisnya pertukaran informasi dalam pencegahan dan penanganan kejahatan perpajakan lintas negara. 

Sehingga, diharapkan juga problem informasi asimetris yang berarti juga mengakhiri rezim kerahasiaan keuangan bisa diselesaikan.

Ketiga, pemerintah perlu mengantisipasi wacana penerapan kebijakan pajak minimum global yang bertujuan mencegah perusahaan multinasional memindahkan keuntungan ke negara-negara dengan pajak rendah (GloBe). 

Misalnya, apabila tarif pajak di suatu negara kurang dari 15 persen, perusahaan itu  harus membayar pajak tambahan untuk menutupi selisihnya, sehingga total pajak yang dibayar mencapai batas minimum 15 persen. 

Sehingga, persaingan tarif pajak antarnegara menjadi lebih sehat.
Respons kebijakan pajak kekayaan tentu saja menghasilkan beragam konsekueni bagi banyak pihak. 

Pada saat yang sama, penataan tersebut bisa dilihat sebagai hasil interaksi antara beragam pemangku kepentingan. Lugasnya, ini merefleksikan bagaimana kinerja otoritas perpajakan.

Sumber : tribunnews.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only