Guyur Stimulus Dulu Sebelum Mengerek PPN

Pemerintah mulai merespons desakan sejumlah kalangan agar menunda kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada awal 2025.

Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhur Binsar Pandjaitan melempar sinyal pemerintah akan menunda kenaikan tarif PPN. Sebelum mengerek tarif PPN 12%, pemerintah akan memberikan dulu beberapa stimulus tambahan kepada masyarakat.

Saat dikonfirmasi, Juru Bicara Ketua DEN, Jodi Mahardi mengakui bentuk stimulus masih dikaji pemerintah. “Masih dikaji (bentuk stimulusnya), ” ujar dia kepada KONTAN, kemarin.

Di 2025, pemerintah sebelumnya sudah mengalokasikan aneka stimulus dan subsidi dengan nilai total di atas Rp 400 triliun.

Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) juga mendorong pemerintah memberikan berbagai stimulus ekonomi tambahan sebelum memberlakukan kenaikan tarif PPN menjadi 12% pada 2025.

Sekretaris Jenderal Hipmi, Anggawira menekankan pentingnya pemerintah menjaga daya beli masyarakat di tengah dinamika ekonomi saat ini. Oleh karena itu, pemberian stimulus kepada masyarakat penting untuk dilakukan.

Menurut dia, subsidi listrik merupakan salah satu bentuk stimulus yang sangat efektif. Selain itu, pemerintah bisa mempertimbangkan pemberian bantuan langsung tunai (BLT), insentif bagi pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), bahkan pengurangan tarif pajak tertentu untuk sektor-sektor strategis.

Sebelumnya mencuat usulan agar pemerintah menaikan batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) untuk memompa daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah.

Langkah-langkah tersebut dinilai akan membantu menjaga konsumsi masyarakat yang menjadi motor penggerak perekonomian, sekaligus memastikan stabilitas ekonomi tetap terjaga meski ada penyesuaian tarif PPN. “Guna menjaga konsumsi masyarakat dan stabilitas ekonomi,” ujar Anggawira, Wakil Komandan Tim Kampanye Nasional Pemilih Muda (TKN Fanta) Prabowo-Gibran pada Pilpres 2024.

Sejumlah ekonom menilai, pemberian stimulus kepada masyarakat tidak menyelesaikan problem mendasar, yakni pelemahan daya beli. Ekonom Senior Bright Institute Awalil Rizky menyebutkan, harus dipastikan terlebih dulu berapa lama jangka waktu penundaan penerapan tarif PPN 12%. Berdasarkan undang-undang, semestinya PPN 12% berlaku paling lambat 1 April 2025.

“Jika penundaan hanya sekitar tiga bulan, maka semua keberatan yang disampaikan pelaku usaha dan pengamat ekonomi masih relevan dan hal itu tidak akan teratasi dengan stimulus yang akan diberikan pemerintah,” ujar Awalil, kemarin.

Awalil pun masih mempertanyakan seberapa besar stimulus itu, lalu apa saja bentuknya. Menurut dia, jika dalam bentuk bansos, maka hanya masyarakat kelas bawah yang sedikit terbantu. Sedangkan warga kelas menengah bawah tidak akan terjangkau.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira juga menilai, pemberian stimulus sebelum menaikkan tarif PPN 12% merupakan kebijakan yang tetap berisiko tinggi. Apabila bantuan diberikan hanya dua hingga tiga bulan, kemudian tarif PPN tetap naik menjadi 12%, maka dampak ke perekonomian masih negatif. “Bantuan hanya bersifat temporer, sementara kenaikan tarif PPN 12% akan berimbas dalam jangka panjang,” jelas dia.

Bhima mengatakan tidak semua kelompok masyarakat yang terdampak kenaikan PPN khususnya kelas menengah mendapatkan kompensasi. Menurut dia, hampir sulit karena jumlah kelas menengah yang disebut aspiring middle class ada 137,5 juta orang.

Awalil menambahkan, secara keseluruhan stimulus tidak akan mampu mendorong daya beli masyarakat. Aktivitas ekonomi pun tidak bisa mengandalkan kebijakan itu. Dia juga mewanti-wanti, jika stimulus digelontorkan cukup besar, maka berpotensi menambah beban belanja negara. “Padahal maksud utamanya mengurangi defisit, misalnya subsidi tarik atau bentuk serupa, ” ungkap dia.

Sumber : Harian Kontan, kamis 28 November 2024 hal 1

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only