Sejumlah pengunjung menyaksikan mobil yang dipamerkan pada pameran otomotif GAIKINDO Jakarta Auto Week 2024 di Indonesia Convention Exhibition (ICE) Kabupaten Tangerag, Banten, Jumat (22/11/2024). (ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal)
JAKARTA, investor.id – Pemerintah memastikan bahwa penerapan kebijakan pertambahan nilai (PPN) sebesar 12% hanya untuk barang mewah tidak akan berlawanan dengan pemberian insentif Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) Ditanggung Pemerintah (DTP).
Sekretaris Kemenko Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengatakan, saat ini pemerintah sedang mengkaji sejumlah insentif sebagai upaya kompensasi dari kenaikan tarif sebesar 12% pada tahun 2025 nanti.
“Sedang dikaji untuk mem-balance dampaknya PPN 12%, kita kan memberikan usulan beberapa skema insentif fiskal khususnya PPN DTP dan PPnBM DTP,” ucap Susiwijono di sela-sela acara Indonesia Special Economic Zone Business Forum 2024 di St Regis, Jakarta pada Senin (9/12/2024).
Susiwijono menegaskan bahwa penerapan PPN DTP dan PPnBM DTP tetap akan bergulir pada tahun 2025. Apalagi kebijakan ini sudah dimasukan dalam alokasi APBN 2025. Pasalnya sektor-sektor yang akan menjadi penerima insentif tersebut merupakan sektor-sektor strategis yang berhubungan dengan hajat hidup masyarakat.
“Kalau itu skema yang sudah jalan dalam beberapa tahun jadi untuk beberapa insentif fiskal yang sudah jalan sebelumnya PPN DTP dan PPnBM DTP digulirkan kembali dan memang kan sudah teralokasi di 2025,” tutur Susiwijono.
Sebelumnya, Konsultan Pajak di PT Botax Consulting Indonesia, Raden Agus Suparman mengatakan, selama ini sistem PPN dikenal dengan tarif tunggal. Walaupun untuk ekspor ada tarif 0%, tetapi tarif itu justru dimaksudkan agar PPN dalam negeri yang sudah dikenai di barang tersebut dapat direstitusi oleh eksportir, sehingga eksportir dapat menjual tanpa PPN. Objek yang dikenai pun tidak banyak.
Sedangkan PPN barang mewah diperuntukkan masyarakat yang berpenghasilan tinggi. Sehingga dampaknya akan dirasakan oleh sedikit orang yang memiliki penghasilan tinggi.
“Namun karena objeknya tidak banyak, maka dampak ke penerimaan perpajakan pun tidak banyak. Yang banyak justru penyesuaian di awal dari sisi pengaturan dan aplikasi faktur pajak,” kata dia.
Raden mengatakan selama ini Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) menggunakan Harmonized System (HS) Code, untuk bisa membedakan barang barang mewah dan mana barang umum. Padahal selama ini faktur pajak cukup diisi nama barang sesuai dengan invoice yang dibuat penjual. Menurut dia, HS Code hanya dikenal di kalangan importir.
“Ditjen Pajak pun pasti akan menerapkan kebijakan yang sama, barang mana yang dikenai 12% dan mana yang dikenai 11% berdasarkan kode HS. Wajib pajak pengusaha pada umumnya akan dibuat bingung cara memasukkan HS code ke faktur pajak,” kata dia.
Sumber: investor.id
Leave a Reply