Penerapan pajak minimum global berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan PMK No. 136/2024 tidak mengurangi kewenangan Ditjen Pajak DJP untuk melakukan pemeriksaan.
Analis Kebijakan Ahli Madya BKF Melani Dewi Astuti mengatakan pemeriksaan atas
kepatuhan wajib pajak dalam melaksanakan PMK 136/2024 dilaksanakan sesuai dengan UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan KUP.
“Sementara ikut UU KUP, ikut pemeriksaan biasa,” kata Melani dalam webinar yang
diselenggarakan oleh Perkumpulan Praktisi dan Profesi Konsultan Pajak Indonesia P3KPI, dikutip pada Selasa 18/2/2025.
Meski demikian, terdapat kemungkinan suatu saat nanti pemeriksaan bisa dilakukan dalam bentuk joint audit oleh otoritas pajak dari beberapa yurisdiksi.
“Cuma nanti kita belum tahu apakah dalam konteks pajak minimum global ini ada pemeriksaan gabungan antarnegara. Ini kan bisa jadi melibatkan banyak negara, sedangkan kalau hanya pemeriksaan di Indonesia kemungkinan datanya terbatas,” ujar Melani.
Sepanjang belum ada skema joint audit yang dikeluarkan oleh Inclusive Framework, pemeriksaan akan tetap dilaksanakan berdasarkan UU KUP.
Guna mempermudah yurisdiksi melaksanakan pengawasan, Inclusive Framework akan menerbitkan standar untuk mengukur risiko kepatuhan dari grup perusahaan multinasional yang wajib memenuhi ketentuan pajak minimum global.
“Kemungkinan Inclusive Framework akan mengeluarkan semacam standar untuk compliance risk assessment terkait penerapan Pilar 2, bahkan langkah-langkah auditnya untuk memudahkan. Karena ini kan kompleks sekali, mungkin pemeriksa disodori seperti ini juga PR,” tutur Melani.
Lebih lanjut, dalam hal terdapat sengketa antara wajib pajak dan DJP terkait dengan implementasi ketentuan pajak minimum global maka sengketa dimaksud juga bisa diselesaikan dengan menempuh upaya hukum domestik.
“Bahkan, kalau Indonesia mendapatkan safe harbour qualified domestic minimum top-up tax QDMTT malah upaya penyelesain hukumnya hanya domestik, tidak bisa kerangka internasional,” ujar Melani.
Penyelesaian sengketa melalui mutual agreement procedure MAP juga tidak
dimungkinkan lantaran pengenaan top-up tax berdasarkan income inclusion rule IIR dan QDMTT bukanlah cakupan persetujuan penghindaran pajak berganda P3B.
“QDMTT itu seperti alternative minimum tax AMT, bukan cakupan P3B. IIR itu seperti controlled foreign company CFC, juga bukan cakupan P3B. Maka itu, sebetulnya tidak bisa masuk ke kerangka Pasal 25 P3B. Mungkin yang bisa UTPR, karena UTPR ini seperti memajaki extraterritorial income,” kata Melani.
Sebagai informasi, PMK 136/2024 merupakan landasan dari penerapan pajak minimum global di Indonesia. Pajak minimum global berlaku atas entitas konstituen yang merupakan bagian dari grup dengan omzet tahunan minimal €750 juta setidaknya dalam 2 dari 4 tahun pajak sebelum tahun pajak pengenaan pajak minimum global.
Jika tarif pajak efektif entitas konstituen pada suatu yurisdiksi tak mencapai tarif minimum 15% maka entitas tersebut harus membayar top-up tax dengan tarif sebesar selisih antara tarif minimum dan tarif pajak efektif.
Lebih lanjut, top-up tax bisa dikenakan terlebih dahulu oleh yurisdiksi sumber jika yurisdiksi tersebut telah menerapkan QDMTT, yaitu pajak minimum domestik yang sejalan dengan ketentuan pajak minimum global.
Apabila yurisdiksi sumber tidak menerapkan QDMTT maka yurisdiksi entitas induk berhak mengenakan top-up tax atas laba yang kurang dipajaki oleh yurisdiksi sumber melalui mekanisme IIR.
Jika yurisdiksi entitas induk tidak menerapkan IIR dan yurisdiksi sumber tidak menerapkan QDMTT maka yurisdiksi lainnya dapat mengenakan pajak tambahan melalui pembatalan pembebanan biaya (denial of deduction) atau penyesuaian yang setara melalui mekanisme UTPR.
Sumber : ddtc.co.id
Leave a Reply