Pengembalian pajak atau restitusi pajak kuartal I-2025 naik signifikan, mencapai 72%.
Pengembalian alias restitusi pajak masih mencatatkan lonjakan signifikan pada awal tahun. Kondisi ini yang menjadi salah satu penyebab realisasi penerimaan pajak periode Januari-Maret 2025 mengalami kontraksi.
Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemkeu), restitusi pajak mengalami lonjakan mencapai Rp 144,38 triliun di kuartal I-2025. Jika mengacu data KONTAN, angka ini melonjak 72,88% dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu, sebesar Rp 83,51 triliun.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Dwi Astuti merinci, realisasi restitusi pada periode laporan didominasi oleh restitusi pajak pertambahan nilai (PPN) dalam negeri (DN) sebesar Rp 113,29 triliun, restitusi pajak penghasilan (PPh) badan dengan nilai Rp 29,4 triliun, dan jenis pajak lainnya Rp 2,05 triliun.
Lonjakan restitusi membuat penerimaan pajak turun. Dari data Kemkeu pula, realisasi penerimaan pajak pada kuartal I-2025 mencapai Rp 322,6 triliun, turun 17,95% dibanding periode yang sama pada tahun lalu (lihat grafik).
Kendati begitu, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengklaim, penerimaan pajak yang tercatat khusus pada Maret 2025 telah menunjukkan pemulihan jika dibanding periode sebelumnya.
“Kenaikan positif menggambarkan bahwa tren yang selama ini menimbulkan cukup perhatian dari media, dari pengamat, dan dari para investor, mengenai penerimaan pajak Indonesia yang mengalami tekanan di Januari-Februari, sudah mulai menunjukkan suatu pemulihan yang cukup menyakinkan, ” kata Menkeu.
Pengamat Pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai, lonjakan restitusi pajak di awal tahun ini disebabkan oleh adanya ketidaksesuaian antara sisi konsumsi perusahaan dengan produksi atau penjualan. Fenomena ini, menurut dia, serupa dengan pola yang terjadi di tahun lalu. “Restitusi PPN terjadi karena pajak masukan lebih besar dibanding pajak keluaran,” ujar Fajry, Minggu (5/4).
Ini bisa terjadi saat perusahaan, terutama pabrikan atau manufaktur, melakukan pembelian barang modal atau bahan baku dalam jumlah besar di awal tahun, namun belum diikuti peningkatan produksi atau penjualan. Ia menyebut strategi ini sebagai front loading, yaitu pembelian di awal, untuk mengantisipasi risiko ketidakpastian ekonomi atau kebijakan.
Kondisi ini diperkuat oleh pegerakan Purchasing Managers Index (PMI) sektor manufaktur Indonesia, yang menunjukkan angka tinggi pada dua hingga tiga bulan pertama, lalu menurun pada bulan-bulan berikutnya.
Penerimaan membaik
Namun, menurut Fajry, peningkatan restitusi ini bersifat musiman. “Selaras dengan hipotesis saya, jumlah restitusi di bulan Maret menurun di badnungkan dua bulan sebelumnya.” tegas dia.
Dengan demikian, proyeksi Fajry, kinerja penerimaan pajak ke depan akan terus membaik. Meski begitu, penerimaan pajak tetap tergantung pada perkembangan global, termasuk dampak kebijakan tarif Amerika Serikat.
Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono juga memperkirakanm tren restitusi pajak akan mulai menurun pada semester II-2025. Sebab, Ditjen Pajak nanti akan fokus pada pemenuhan target penerimaan pajak sesuai Undang-Undang (UU) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025.
Ia menyebut, dengan adanya restitusi, dampak terhadap penerimaan pajak hingga akhir tahun ini tentu membuat kerja keras dalam mengumpulkan pajak harus lebih kuat lagi”. “Tujuannya adalah agar ada pengganti atas pajak yang telah direstitusi,” Kata Prianto.
Sebab, bagaimanapun juga, restitusi pajak merupakan hak dari wajib pajak. Dengan demikian, otoritas sudah melakukan antisipasi atas peningkatan restitusi tersebut.
Sumber: Harian Kontan, Senin 5 Mei 2025 Hal 2
Leave a Reply