Pemengaruh (influencer) hingga pembuat konten (content creator) menjadi segmen potensial bagi pemerintah untuk memperluas basis dan meningkatkan penerimaan pajak. Sayangnya, Direktorat Jenderal (Dirjen) Pajak belum mampu mengoptimalkan kontribusi dari sektor tersebut.
Berdasarkan data Ditjen Pajak yang diterima KONTAN, pada 2017 lalu, pemerintah mendapat penerimaan pajak Rp 27 miliar dari 51 pelaku social media influencer. Mereka, termasuk vlogger, youtuber dan selebgram. Sayangnya, hingga saat ini belum diketahui besaran setoran pajak terkini dari kalangan ini.
Staf Ahli Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal mengaku, Ditjen Pajak telah melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap para influencer hingga content creator terkait pelaporan perpajakannya. Namun, kata Yon, keterbatasan klasifikasi data dan struktural sektoral membuat penarikan data penghasilan para influencer menjadi tantangan tersendiri.
Menurut Yon, identifikasi profesi influencer kerap kali tumpang tindih karena seseorang bisa berstatus sebagai aparatur sipil negara (ASN) atau pegawai swasta, tetapi juga menjalani aktivitas sebagai influencer. Tak hanya itu, profesi influencer belum memiliki klasifikasi baku lapangan usaha Indonesia (KBLI) tersendiri.
Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai, kunci utama optimalisasi penerimaan pajak dari segmen influencer maupun content creator adalah ketersediaan data yang akurat dan dapat diandalkan.
“Jika kemudian dari data yang didapatkan tidak sesuai dengan yang dilaporkan, maka hal tersebut dapat dioptimalkan menjadi tambahan penerimaan bagi otoritas pajak,” kata Fajry, kemarin.
Direktur Eksekutif IEF Research Institite Ariawan Rahmat membeberkan, mengacu pada data We Are Social 2024, terdapat lebih dari 30 juta pengguna aktif Instagram dan TikTok di Indonesia yang memenuhi kriteria monetisasi.
Ariawan menghitung, jika hanya 1 juta di antaranya yang benar-benar memperoleh penghasilan dan masing-masing berpenghasilan Rp 60 juta per tahun, maka potensi pajak penghasilan (PPh) bisa mencapai Rp 3 triliun hingga Rp 5 triliun.
Sementara Konsultan Pajak dari Botax Consulting Indonesia Raden Agus Suparman mengusulkan agar Ditjen Pajak menerapkan skema PPh final khusus bagi pembuat konten digital. Ia menilai sistem final lebih realistis, mengingat biaya produksi konten sangat variatif.
Raden juga mendorong Ditjen Pajak agar bekerjasama langsung dengan platform digital seperti YouTube, Meta, dan TikTok, dalam melakukan pemotongan PPh final.
Sumber : Harian Kontan 10 Juni 2025, Halaman 2
Leave a Reply