Rencana pemerintah untuk mewajibkan platform marketplace memungut pajak penghasilan (PPh) atas pedagang yang berjualan di platform mereka dihadapkan sejumlah tantangan. Topik tersebut menjadi salah satu ulasan media nasional pada hari ini, Selasa (1/7/2025).
Rencana pemajakan atas pedagang e-commerce ini membutuhkan integrasi data pedagang serta kesiapan sistem di setiap lokapasar. Dua hal itulah yang menjadi tantangan pemerintah sebelum mewajiban platform marketplace memungut PPh Pasal 22 atas pedagang.
Sekretaris Jenderal Asosiasi e-Commerce Indonesia (idEA) Budi Primawan mengungkapkan selain 2 tantangan di atas, ada pula isu keamanan data pribadi pedagang yang juga muncul sebagai tantangan pemajakan pedagang online.
“Bisa dibilang rencana pemerintah itu berdampak kepada pedagang di platform lokapasar. Penjual yang kena pajak kemungkinan akan menaikkan harga jual barang atau malah memilih memakai sarana berjualan daring lainnya,” kata Budi pada Harian Kompas edisi hari ini.
Pemerintah juga perlu mendesain teknis pemungutan pajak bagi pedagang online lantaran mayoritas pedagang online di Indonesia adalah pelaku UMKM. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), 82,97% pelaku usaha e-commerce beromzet kurang dari Rp300 juta per tahun. Sementara itu, 14,4% beromzet Rp300 juta hingga Rp2,5 miliar, 2,42% beromzet Rp2,5 miliar hingga Rp50 miliar, dan hanya 0,21% yang omzetnya melebihi Rp50 miliar.
Dalam peraturan baru nanti, platform marketplace akan diminta untuk memotong dan menyetorkan PPh Pasal 22 sebesar 0,5% dari pendapat penjualan pelapak dengan omzet tahunan antara Rp500 juta hingga Rp4,8 miliar.
Ketentuan itu juga bertujuan untuk memperkuat pengawasan terhadap aktivitas ekonomi digital dan menutup celah shadow economy. Kebijakan itu juga menyamakan kedudukan antara toko online dan toko fisik.
Selain informasi mengenai kebijakan pajak e-commerce di atas, ada pula bahasan lain yang diulas oleh media nasional pada hari ini. Di antaranya, perusahaan Amerika Serikat yang dikecualikan dari pajak minimum global, update soal gugatan terhadap UU PPN, hingga diskon PPN rumah yang sudah dipangkas.
Berikut ulasan artikel perpajakan selengkapnya.
PPh 22 Atas Pelapak Online Bukan Pajak Baru
Ditjen Pajak (DJP) menegaskan rencana penunjukan marketplace sebagai pemungut PPh Pasal 22 atas transaksi penjualan barang oleh merchant yang berdagang melalui perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) bukanlah jenis pungutan baru.
DJP menjelaskan ketentuan penunjukan marketplace sebagai pemungut pajak hanyalah shifting (pergeseran) mekanisme saja. Pembayaran PPh saat ini dilakukan secara mandiri oleh pedagang online, tetapi nantinya menjadi dipungut oleh marketplace sebagai pihak yang ditunjuk pemerintah.
“Rencana ketentuan ini bukanlah pengenaan pajak baru,” bunyi keterangan resmi DJP. (DDTCNews)
RI Sulit Mobilisasi PPN
Asean+3 Macroeconomic Research Office (AMRO) memperkirakan Indonesia akan kesulitan memenuhi target PPN yang ditetapkan pada tahun ini dan tahun-tahun berikutnya.
Pasalnya, tarif efektif PPN telah diturunkan dari 12% menjadi 11%. Tarif PPN sebesar 12% sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b UU PPN hanya berlaku atas barang kena pajak (BKP) mewah.
“Perubahan kebijakan dimaksud akan menghasilkan penerimaan PPN yang lebih rendah dibandingkan dengan yang diperkirakan pada 2025,” tulis AMRO dalam Annual Consultation Report: Indonesia – 2025. (DDTCNews)
Perusahaan AS Dikecualikan dari Pajak Minimum Global
Negara-negara anggota G-7 sepakat untuk mengecualikan Amerika Serikat (AS) dari rezim pajak minimum global berdasarkan Pilar 2: Global Anti Base Erosion (GloBE).
Secara terperinci, G-7 sepakat untuk mengecualikan grup perusahaan AS dari pemberlakuan income inclusion rule (IIR) dan undertaxed payment rule (UTPR). Grup perusahaan AS akan dikenai pajak minimum berdasarkan rezim tersendiri, yakni global intangible low-taxed income (GILTI).
Koeksistensi antara GloBE dan GILTI (side-by-side system) diklaim akan menciptakan stabilitas bagi sistem pajak internasional. “Terdapat pemahaman bersama bahwa side-by-side system dapat memberikan stabilitas dan dan kepastian yang lebih besar dalam sistem pajak internasional,” tulis G-7 dalam keterangan resminya. (DDTCNews)
Desakan Pemerintah Soal Gugatan UU PPN
Pemerintah meminta Mahkamah Konstitusi (MK) untuk tidak mengabulkan permohonan pengujian materiil atas UU PPN dalam Perkara Nomor 11/PUU-XXIII/2025.
Dirjen Pajak Bimo Wijayanto mengatakan dikabulkannya permohonan pengujian materiil atas Pasal 7 ayat (1) UU PPN berpotensi menimbulkan kekosongan hukum.
“Apabila permohonan uji materi Pasal 7 ayat (1) UU PPN a quo dikabulkan, maka tarif sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU PPN tersebut menjadi tidak berlaku, sehingga akan terjadi kekosongan hukum, yaitu tidak adanya dasar hukum mengenai besaran tarif PPN,” kata Bimo dalam persidangan dengan acara mendengar keterangan DPR dan presiden. (DDTCNews)
Diskon PPN Turun Jadi 50 Persen
Fasilitas PPN ditanggung pemerintah (DTP) atas rumah tapak dan rusun sebesar 50% untuk tahun pajak 2025 berlaku mulai hari ini, Selasa (1/7/2025).
Terhitung sejak 1 Juli hingga 31 Desember 2025, fasilitas PPN DTP yang diberikan atas penyerahan rumah tapak dan satuan rumah susun ialah sebesar 50%, tidak lagi sebesar 100% sebagaimana yang berlaku pada 1 Januari hingga 30 Juni 2025.
“PPN DTP … diberikan untuk penyerahan yang tanggal berita acara serah terima (BAST) mulai tanggal 1 Juli 2025 hingga tanggal 31 Desember 2025, sebesar 50% dari PPN yang terutang dari bagian harga jual hingga Rp2 miliar dengan harga jual paling banyak Rp5 miliar,” bunyi Pasal 7 ayat (1) huruf b PMK 13/2025.
Sumber: ddtc.co.id
Leave a Reply