Indonesia tengah menyiapkan langkah strategis untuk memperluas skema perpajakan atas aset kripto, seiring perubahan klasifikasi kripto dari komoditas menjadi instrumen finansial. Langkah ini mencerminkan upaya pemerintah dalam menyesuaikan regulasi dengan perkembangan pesat teknologi dan ekosistem keuangan digital.
Chief Executive Officer (CEO) Tokocrypto, Calvin Kizana menyatakan bahwa pendekatan baru ini sejalan dengan perubahan fungsi kripto yang kini digunakan tidak hanya untuk perdagangan, tetapi juga sebagai sarana investasi dan derivatif.
“Perpindahan ini menjadi penanda bahwa pemerintah memandang kripto bukan lagi sekadar barang dagangan digital, tetapi bagian dari sistem keuangan yang harus diawasi secara lebih ketat dan komprehensif,” kata Calvin, dilansir Jumat (25/7).
Perubahan kebijakan ini juga mengikuti pengalihan otoritas pengawasan perdagangan kripto dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dengan peralihan pengawasan, regulasi terhadap kripto diharapkan menjadi lebih holistik dan membuka ruang legal untuk memperlakukannya sebagai instrumen keuangan.
Rencana ini berpotensi memperluas basis pengenaan pajak atas aktivitas yang melibatkan aset kripto, seperti investasi terstruktur, pengelolaan portofolio digital, hingga layanan derivatif berbasis kripto.
Menurut Calvin, revisi skema perpajakan yang berbasis pada klasifikasi kripto sebagai instrumen finansial dapat membawa dampak positif terhadap industri, termasuk meningkatnya minat investor dan volume perdagangan, asalkan kebijakan yang diterapkan sejalan dengan ekspektasi pelaku industri.
“Kami telah menyampaikan masukan agar pajak atas transaksi kripto disejajarkan dengan skema perpajakan di pasar modal. Jika transaksi saham dikenakan pajak final yang lebih ringan, maka idealnya kripto pun diperlakukan serupa,” ujarnya.
Sumber : wartaekonomi.co.id
Leave a Reply