Tarif Pajak Baru Bisa Bikin Transaksi Kripto Layu

Siap-siap bagi pelaku pasar kripto di Tanah Air. Mulai 1 Agustus 2025, pemerintah akan memberlakukan tarif pajak baru transaksi aset kripto.

Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.50/2025 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) Transaksi Perdagangan yang diterbitkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati 25 Juli 2025, menggantikan regulasi sebelumnya, yakni PMK Nomor 68 Tahun 2022.

Ada beberapa poin perubahan ketentuan pajak yang diatur dalam PMK 50/2025. Salah satunya, perubahan ketentuan PPN atas aset kripto.

Dalam PMK 68/2022, penyerahan aset kripto oleh penjual dinilai sebagai penyerahan barang kena pajak tak berwujud, sehingga dikenakan PPN. Dalam aturan terbaru PMK 50/2025, aset kripto dibagikan dengan surat berharga seperti obligasi, sehingga dikecualikan atau tak kena PPN.

Yang sial para penambang kripto. Jasa penyediaan sarana elektronik yang digunakan untuk memfasilitasi transaksi aset kripto oleh penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) maupun jasa verifikasi transaksi aset kripto tetap dikenakan PPN.

Skema pengenaan PPN dalam PMK 50/2025 juga berubah dari PMK 68/2022. Pada aturan terbaru, PPN dihitung dengan cara mengalikan tarif 12% dikalikan dengan dasar pengenaan pajak (DPP) sebesar 11/12 dari nilai transaksi.

Dus, dasar penghitungan PPN lebih spesifik dan nominal lebih besar. Sebelumnya, tarif PPN berdasarkan jenis penyelenggara, yakni 1% dari DPP bila dilakukan pedagang fisik aset kripto dan 2% dari DPP bila melalui PMSE.

PMK terbaru juga mengatur PPh 22 untuk transaksi perdagangan aset kripto. Tarif PPh ini dipatok 0,21% dari nilai transaksi. Lebih tinggi dari ketentuan di PMK 81/2024, dimana PPh hanya 0,1%-0,2%.

Tak pelak, perubahan pajak, menuai kritik dari para pelaku pasar kripto di Tanah Air. Calvin Kizana, CEO Tokocrypto menilai, kenaikan tarif pajak bisa memengaruhi perilaku investor dalam bertransaksi. Investor bisa lebih selektif, bahkan menahan transaksi saat pasar sedang volatil.

Aturan baru juga berpotensi menimbulkan ketimpangan exchange lokal dan platform asing yang beroperasi di luar Indonesia. “Regulasi ini bisa memicu perpindahan aktivitas transaksi ke luar negeri dan melemahkan pertumbuhan ekosistem dalam negeri,” kata Calvin, Rabu (30/7).

Calvin telah mengusulkan pemberlakuan PMK 50 diberi masa transisi minimal satu bulan. Tujuannya agar seluruh platform perdagangan aset kripto memiliki waktu cukup mempersiapkan infrastruktur teknis, kepatuhan administratif, dan mengedukasi pengguna terkait aturan pajak baru.

Setali tiga uang, CEO PT Tiga Inti Utama (Triv), Gabriel Rey mengaku berkali-kali menyuarakan keberatan soal perubahan tarif. “Target kami 0,1%, bukan 0,21% seperti PMK baru,” ujar Rey.

Co-Founder Cryptowatch dan Pengelola Channel Duit Pintar, Christopher Tahir menimpali, pelaksanaan ketentuan pajak baru agak rumit diterapkan. Mekanisme perdagangan aset kripto berbeda dengan saham, terutama untuk PPN penambang.

Pertama, lanjut Christopher, mengidentifikasi seorang penambang agak sulit.

Kedua, sepengetahuan dia, belum ada izin resmi yang menentukan bahwa seseorang bisa dikatakan sebagai penambang koin kripto.

Ketiga, hasil penambangan aset kripto tidak bisa dikendalikan baik dari sisi penambang maupun pemungut pajak. “Jadi sulit bagi mereka melacak tambang yang dihasilkan dan berapa aset yang harus kena pajak,” katanya.

Sementara untuk Pph, bisa saja investor enggan menggunakan jasa exchanger lokal. Investor kripto malah bisa hengkang dan memilih ex-changer di luar negeri.

Sumber: Harian Kontan, Kamis 31 Juli 2025 Hal 1

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only