Penyedia marketplace selaku pihak lain wajib untuk turut menyampaikan nama akun milik pedagang dalam negeri yang berdagang di marketplace.
Topik tersebut menjadi salah satu ulasan media nasional pada hari ini, Senin 11/8/2025.
Kepala Seksi Peraturan Pemotongan dan Pemungutan PPh II DJP Ilmiantio Himawan
mengatakan informasi nama akun diperlukan mengingat pedagang sering kali memiliki akun dengan nama yang berbeda dengan nama asli.
“Pedagang online yang listing di marketplace itu memiliki karakter yang unik. Dia bisa
menamai tokonya misal rizal123 atau gatarakeren. Jadi, dia menggunakan toko yang bukan namanya aslinya,” katanya.
Nama akun diperlukan agar Ditjen Pajak DJP bisa melakukan validasi atas pedagang
dalam negeri dimaksud. Validasi menjadi penting karena PPh Pasal 22 yang dipungut oleh penyedia marketplace merupakan kredit pajak bagi pedagang dalam negeri.
“Siapa pihak yang bisa mengkreditkan PPh Pasal 22 itu menjadi penting. Kalau pihak
yang mengkreditkan itu penting, menjadi perlu juga untuk [memastikan] kebenaran
pedagang tadi,” ujar Ilmiantio.
Merujuk pada Pasal 15 ayat 1 Peraturan Menteri Keuangan PMK 37/2025, setidaknya
terdapat 4 jenis informasi yang harus disampaikan oleh penyedia marketplace bisa sudah ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22.
Pertama, NPWP/NIK dan alamat korespondensi pedagang, surat pernyataan yang
disampaikan oleh pedagang dalam negeri bahwa omzetnya sudah melebihi atau belum melebihi Rp500 juta, dan surat keterangan bebas yang disampaikan oleh pedagang dalam negeri.
Kedua, informasi lain berupa:
- nama, nama akun, dan/atau pilihan negara pedagang dalam negeri;
- NPWP atau tax identification number dan/atau alamat korespondensi penyedia
marketplace selaku pihak lain; dan - alamat email dan nomor telepon pembeli barang/jasa.
Ketiga, informasi yang termuat dalam dokumen yang dipersamakan dengan bukti
pemungutan PPh Pasal 22. Adapun informasi yang dimaksud antara lain:
nomor dan tanggal dokumen tagihan;
nama pihak lain;
nama akun pedagang dalam negeri;
identitas pembeli barang/jasa berupa nama dan alamat;
jenis barang/jasa, jumlah harga jual, dan potongan harga; dan
nilai PPh Pasal 22 bagi pedagang dalam negeri masing-masing.
Keempat, PPh Pasal 22 yang sudah dipungut dan disetorkan oleh penyedia marketplace.
PPh Pasal 22 yang harus dipungut oleh penyedia marketplace adalah sebesar 0,5% dari peredaran bruto yang diterima pedagang dalam negeri sebagaimana tercantum dalam dokumen tagihan.
PPh Pasal 22 sebesar 0,5% tersebut bisa diklaim sebagai kredit pajak pada tahun berjalan ataupun bagian dari pelunasan PPh final.
Selain topik tersebut, terdapat ulasan mengenai pemerintah yang bisa memutus akses atas penyedia marketplace sebagai pihak lain. Kemudian, terdapat pembahasan tentang pemanfaatan insentif pajak terkait dengan kegiatan filantropi yang dinilai masih belum maksimal.
Berikut ulasan artikel perpajakan selengkapnya.
Pemerintah Bisa Putus Akses Marketplace yang Tidak Pungut Pajak
Penyedia marketplace yang telah ditunjuk melalui keputusan dirjen pajak sebagai pihak lain harus melaksanakan pemungutan PPh Pasal 22 sesuai dengan PMK 37/2025.
Bila tidak melaksanakan pemungutan pajak, pemerintah bisa melakukan pemutusan akses atas penyedia marketplace yang telah ditunjuk sebagai pihak lain tersebut.
“Pihak lain … yang tidak memenuhi ketentuan dalam PMK beserta peraturan
pelaksanaannya … selain dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang perpajakan, juga dikenai sanksi berupa pemutusan akses setelah diberi teguran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” bunyi diktum ketiga format keputusan dirjen pajak penunjukan penyedia marketplace sebagai pihak lain dalam Lampiran A PER15/PJ/2025.
Sistem Perpajakan Indonesia Belum Sepenuhnya Akomondasi Kegiatan Filantropi
Pemanfaatan insentif pajak terkait dengan kegiatan filantropi di Indonesia dinilai masih belum maksimal. Berdasarkan estimasi belanja pajak 2025 pada Laporan Belanja Perpajakan 2023, pajak yang tidak dipungut karena adanya fasilitas pajak berupa sumbangan sebagai pengurang penghasilan bruto hanya sekitar Rp17 miliar.
Tak hanya itu, pengecualian pajak atas sisa lebih lembaga sosial/keagamaan diestimasikan hanya mencapai Rp6 miliar, sedangkan pengecualian pajak atas sisa lebih lembaga pendidikan/litbang mencapai Rp1,6 triliun.
“Dengan nilai yang masih kecil, artinya keberpihakan pemerintah untuk insentif di bidang filantropi itu masih sedikit. Atau kedua, masih sedikit orang-orang yang memanfaatkan insentif tersebut,” kata Director of DDTC Fiscal Research and Advisory B. Bawono Kristiaji.
Sri Mulyani Minta Periset Ikut Bujuk Industri Pakai Supertax Deduction Litbang
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mendorong agar para peneliti untuk turut
mengajak pelaku industri memanfaatkan fasilitas supertax deduction atas kegiatan litbang.
Sri Mulyani mengatakan pemerintah menyediakan fasilitas supertax deduction untuk
mendorong sektor swasta melakukan kegiatan litbang. Menurutnya, skema fasilitas
supertax deduction akan sangat menguntungkan baik bagi peneliti maupun pelaku
industri.
“Saya berharap Bapak dan Ibu peneliti sekalian untuk agak entrepreneurial, ajak saja
industri terus bilang ‘Eh kalau kamu meneliti sama saya, kamu keluarin Rp1 miliar, you can deduct tripple dari pajak Anda’. Itu kan malah untung, mestinya,” katanya.
Dirjen Bea Cukai Pede Fasilitas KB Efektif Dorong Kinerja Ekspor
Dirjen Bea dan Cukai Djaka Budhi Utama menilai pemberian fasilitas kawasan berikat akan efektif mendorong kinerja produksi dan ekspor nasional.
Hal itu Djaka sampaikan saat mengunjungi salah satu perusahaan penerima kawasan
berikat. Dia berharap makin banyak perusahaan yang memanfaatkan fasilitas kepabeanan tersebut, terutama yang berorientasi ekspor.
“Dengan segala kemudahan yang diberikan, kawasan berikat menjadi pilihan menarik bagi pelaku usaha global untuk mengembangkan bisnis mereka,” ujarnya.
Mendagri Ingatkan Pemda Hati-Hati Bikin Kebijakan Pajak Daerah
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian memperingatkan para kepala daerah agar berhatihati dalam membuat kebijakan pajak daerah karena dapat berdampak pada rakyat kecil.
Hal ini dia sampaikan untuk merespons polemik kebijakan Bupati Pati Sudewo yang
menaikkan tarif PBBP2 sebesar 250%. Menurutnya, pemda dalam meningkatkan
penerimaan pajak daerah perlu memperhatikan kemampuan masyarakatnya.
“Saya minta kepala-kepala daerah lain, dalam buat kebijakan, jangan hanya melihat aspek normatif hukum. Namun, juga mempertimbangkan aspek sosial, dampaknya ke masyarakat bagaimana?” ujar Tito.
Sumber : news.ddtc.co.id
Leave a Reply