Akrobat fiskal dan jalan baru ekonomi Indonesia

Kebijakan fiskal selalu menjadi arena paling krusial dalam menentukan arah ekonomi suatu negara.

Di tangan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, kebijakan fiskal Indonesia mulai bergerak dengan gaya yang bisa disebut “akrobatik”, bukan dalam arti sembrono, melainkan kemampuan menjaga keseimbangan di tengah tekanan yang saling bertentangan: kebutuhan pertumbuhan, tuntutan stabilitas, dan batas kemampuan fiskal negara.

Langkah-langkah berani mulai terlihat. Salah satunya adalah wacana penurunan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bagi pelaku perorangan maupun badan usaha. Langkah ini jelas menantang logika fiskal konservatif, tapi punya argumen kuat: daya beli masyarakat akan menguat, margin pelaku usaha membaik, dan efek bergandanya mendorong konsumsi serta investasi.

Tentu, kebijakan semacam ini memerlukan perhitungan matang — bagaimana menjaga rasio pajak agar tetap naik meskipun tarif turun. Inilah keseimbangan yang hendak dicapai: fiskal yang produktif, bukan fiskal yang menekan.

Namun, penyesuaian tarif hanyalah permukaan dari reformasi yang lebih mendalam. Tantangan utama fiskal Indonesia bukan semata pada tarif, melainkan pada efektivitas sistem dan perilaku birokrasi.

Karena itu, pembenahan internal di tubuh Kementerian Keuangan, terutama Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), menjadi krusial. Profesionalisme, integritas, dan efisiensi adalah tiga pilar utama. Sistem digital perpajakan seperti Coretax perlu benar-benar menjadi sistem cerdas yang mampu membedakan antara wajib pajak yang sengaja menghindar dan mereka yang hanya lalai melapor.

Dengan sistem yang kuat dan digitalisasi yang menyeluruh, ruang interaksi langsung antara wajib pajak dan aparat bisa dipersempit, begitu pula dalam urusan bea dan cukai ketika kelak sistemnya telah terintegrasi.

Harapannya sederhana namun fundamental: tidak ada lagi aparat yang “bermain” dengan wajib pajak besar, dan tidak ada lagi pengusaha kecil yang ditekan karena telat melapor. Begitu pula dalam bea cukai — tidak boleh ada praktik meloloskan barang karena pembelinya pejabat, atau menahan barang impor tanpa alasan jelas yang menambah biaya ekonomi bagi pelaku usaha.

Reformasi fiskal juga menyentuh aspek belanja negara, dengan fokus pada efektivitas penggunaan anggaran, kecepatan pelaksanaan, dan ketepatan penyaluran ke daerah. Serapan anggaran yang tinggi tidak otomatis berarti kinerja yang baik jika tidak menghasilkan manfaat nyata bagi masyarakat.

Karena itu, pola kerja anggaran perlu diubah menjadi lebih cepat dan berdampak. Begitu APBN disahkan, alokasi belanja bagi Kementerian, Lembaga, dan Pemerintah Daerah harus segera ditetapkan dan dieksekusi sejak awal tahun. Anggaran tidak boleh diendapkan di rekening hanya untuk memperoleh bunga atau pendapatan tambahan, tetapi harus segera digerakkan untuk kegiatan produktif dan pelayanan publik.

Penyaluran dana dari Pemerintah Pusat ke Kementerian, Lembaga, dan Pemerintah Daerah sebenarnya bisa berlangsung cepat jika rencana dan kesiapan pelaksanaan sudah matang. Namun, selama ini sering terjadi keterlambatan karena rencana kerja belum siap, kegiatan baru dimulai di tengah tahun, atau perubahannya terlalu sering.

Pola lama ini harus diakhiri — anggaran harus dijalankan sejak awal tahun, bukan dikejar di akhir tahun hanya demi laporan serapan.

Kesadaran serupa juga harus tumbuh di tingkat pemerintah daerah. Penyaluran dana dari pusat ke daerah — baik untuk pembangunan umum, kegiatan khusus, maupun dana desa — dilakukan bertahap sesuai kinerja dan laporan pelaksanaan.

Sering kali keterlambatan bukan disebabkan oleh pemerintah pusat, tetapi karena daerah belum menyiapkan laporan dan rencana kegiatan dengan baik, sehingga penyaluran berikutnya tertunda. Sinkronisasi antara kebijakan pusat dan kesiapan di daerah menjadi kunci. Dana dari pusat seharusnya menjadi pemicu kegiatan ekonomi, bukan hanya sumber belanja rutin.

Pemerintah daerah perlu bergerak cepat menyiapkan program dan kegiatan begitu anggaran dialokasikan agar dampaknya langsung dirasakan masyarakat. Dengan disiplin dan koordinasi seperti ini, sinergi antara pusat dan daerah akan berjalan lebih efisien dan transparan, perputaran dana di masyarakat menjadi lebih cepat, dan efek berganda terhadap pertumbuhan ekonomi nasional dapat tercapai.

Belanja pemerintah juga perlu diarahkan pada kegiatan produktif dan padat karya. Proyek-proyek infrastruktur kecil, penguatan UMKM, serta pengembangan rantai pasok antarwilayah menjadi prioritas.

Sebuah daerah dengan kekuatan di sektor pertanian, misalnya, seharusnya terkoneksi dengan wilayah industri pengolahan dan distribusi di sekitarnya. Dengan begitu, nilai tambah tidak lagi tersedot ke pusat, melainkan mengalir di kawasan regional. Inilah cara membangun pertumbuhan nasional dari bawah ke atas (bottom-up growth).

Kemandirian fiskal daerah juga menjadi bagian penting dari strategi jangka panjang. Ketergantungan tinggi terhadap dana pusat untuk belanja rutin tidak bisa lagi dipertahankan.

Pemerintah daerah harus berani mengoptimalkan potensi pendapatan asli daerah melalui inovasi pajak, retribusi, dan pengelolaan aset produktif — bukan dengan menaikkan tarif, tetapi dengan memperluas basis pajak dan meningkatkan kepatuhan.

Satu hal penting: jangan lagi ada Kementerian, Lembaga, atau Pemda yang menjadikan anggaran sebagai sarana mencari keuntungan bunga dari penundaan belanja. Setiap rupiah yang dianggarkan harus segera mengalir ke kegiatan riil, bukan “parkir” di rekening untuk kepentingan jangka pendek.

Pada akhirnya, jika sinergi antarpemangku kepentingan ini terbangun dengan optimal — antara Kementerian, Lembaga, Pemerintah Daerah, dan dunia usaha — kita akan menyaksikan denyut ekonomi nasional yang tumbuh lebih dinamis. Daya beli meningkat, investasi mengalir, dan sektor riil bergerak.

Akrobat fiskal bukanlah pertunjukan politik atau kebijakan coba-coba, melainkan strategi kolektif yang berpijak pada logika ekonomi dan disiplin fiskal yang sehat. Akrobat ini menuntut keberanian, koordinasi, dan kesadaran bersama seluruh pemangku kepentingan nasional.

Bila dilakukan secara konsisten dan terintegrasi, Indonesia berpeluang besar keluar dari jebakan pertumbuhan stagnan dan memasuki fase ekonomi yang lebih inklusif, produktif, dan berkeadilan.

Albert Einstein pernah mengingatkan, “Kekonyolan adalah melakukan hal yang sama berulang-ulang dan mengharapkan hasil yang berbeda.” Saatnya berubah — bersama.

Sumber : www.antaranews.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only