Kementerian Keuangan (Kemkeu) mencatat realisasi penerimaan pajak penghasilan (PPh) orang pribadi (OP) dan PPh 21 mencapai Rp 191,66 triliun hingga Oktober 2025. Angka ini turun 12,8% dibandingkan dengan periode sama tahun lalu.
Menurut Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Bimo Wijayanto, terkontraksinya penerimaan PPh ini imbas kebijakan tarif efektif rata-rata (TER) di awal 2025. Pada awal tahun, skema perhitungan PPh 21 melalui TER dinilai menimbulkan banyak masalah, baik bagi otoritas pajak, perusahaan, maupun karyawan.
Namun demikian, realisasi PPh 21 secara bruto mencapai Rp 214,6 triliun hingga Oktober 2025, naik 3,6% dibandingkan periode sama tahun sebelumnya. Bimo menyebut, ini sejalan dengan jumlah penduduk bekerja yang mengalami peningkatan. Dari 145,77 juta pekerja pada Februari 2025, menjadi 146,54 juta pekerja pada Agustus 2025.
“Pertumbuhan PPh 21 sejalan dengan pertumbuhan penduduk bekerja, sejalan survei ekonomi nasional dan update Survei Angkatan Kerja Nasional Agustus 2025. Jumlah penduduk bekerja meningkat jadi 146,5 juta,” kata Bimo dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR, Senin (24/11).
Konsultan Pajak Botax Consulting Indonesia Raden Agus Suparman menilai, pеnyumbang terbesar penurunan PPh orang pribadi dan PPh Pasal 21 adalah penerimaan PPh Pasal 21. Ini terjadi lantaran pada tahun 2025 tercatat sejumlah pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran.
Berdasarkan data dari satu-data.kemnaker.go.id, jumlah karyawan terkena PHK sampai dengan bulan Oktober 2025 mencapai 70.244 dan terbanyak ada di Jawa Barat, yaitu sebanyak 15.657 pekerja. “Saya yakin, data sebenarnya pasti lebih banyak, karena tidak dilaporkan ke Kementerian Tenaga Kerja,” tandas Raden, Senin (24/11).
Akibat dari gelombang PHK tersebut, lanjut Raden, Ditjen Pajak kehilangan penerimaan PPh Pasal 21. “Perusahaan sebelumnya memotong PPh Pasal 21 dari buruh dan pegawainya, setelah PHK tidak lagi memotong PPh Pasal 21, atau pembayaran PPh Pasal 21 berkurang dari sebelum PΗΚ,” tambah Raden.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, pemerintah perlu menaikkan batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) yang diharapkan akan mendorong belanja masyarakat. Misalnya, menaikkan ke angka Rp 7,5 juta per bulan, dari yang saat ini Rp 4 juta per bulan.
“Jadi disposable incomenya bisa lebih besar dan itu justru akan memicu terjadinya pembukaan lapangan kerja di berbagai sektor-sektor lainnya,” kata Bhima, kemarin. Terlebih, pemerintah jarang memberikan insentif, meski PPh 21 yang dijadikan tumpuun penerimaan pajak.
Sumber : Harian Kontan 25 November 2025, Halaman 2

WA only
Leave a Reply