Emiten Konstruksi Dihantui PPN Tinggi

Menakar dampak kenaikan PPN 12 ke kinerja emiten jasa konstruksi

Pemerintah berencana memberlakukan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% mulai Januari 2025. Presiden Prabowo Subianto telah memberikan sinyal sejumlah barang mewah berpоtensi terkena kenaikan PPN 12%. Di antaranya, kelompok hunian mewah seperti rumah mewah, apartemen, kondominium, dan sejenisnya.

Kebijakan tersebut dinilai bakal jadi beban emiten jasa konstruksi. Pasalnya, kenaikan PPN. 12% akan berdampak langsung pada lonjakan harga material dan jasa konstruksi, yang akhirnya akan membebani kontraktor dan masyarakat pembeli properti. Dus, eksekusi proyek yang sudah direncanakan, terutama proyek properti hunian mewah bisa terhambat.

Sekretaris Perusahaan PT Wijaya Karya Beton Tbk (WTON), Yushadi menilai, kenaikan PPN 12% akan memberatkan konsumen akhir dibanding perusahaan jasa konstruksi. “Pemilik apartemen akan terdampak langsung,” katanya, belum lama ini.

Menurut Yushadi, sebagai kontraktor, perusahaan diwajibkan membayar PPN 12%. Cuma, masalah utama kebijakan PPN 12%, adanya potensi penurunan permintaan atas produk properti atau konstruksi akibat harganya yang meningkat. Jadi, perlu diperhatikan seberapa besar penurunan, permintaan itu akan terjadi saat PPN 12% berlaku. Sementara itu PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) masih akan melihat implementasi PPN 12% terlebih dulu untuk memperkirakan dampaknya terhadap perusahaan. “Yang pasti, kami siap jadi mitra strategis pemerintah dalam melaksanakan pembangunan infrastruktur nasional,” kata MahendraVijaya, Sekretaris Perusahaan WIKA, Jumat (6/12).

Head of Equity Research Kiwoom Sekuritas Indonesia, Sukarno Alatas melihat, kenaikan PPN 12% akan berdampak kompleks ke kinerja emiten konstruksi. Ini terutama, emiten yang mengandalkan proyek-proyek swasta dan sensitif terhadap perubahan harga bahan bangunan.

Adapun, emiten yang diuntungkan, yang memiliki proyek-proyek jangka panjang, dengan kontrak sudah fixed price atau memiliki kemampuan untuk menaikkan harga jual. “Emiten BUMN Karya cenderung akan terdampak negatif, karena, skala proyeknya jauh lebih besar dan ada ketergantungan pada proyek pemerintah,” ujar Sukarno.

Prospek kinerja

Ke depan, sentimen negatif untuk emiten konstruksi secara keseluruhan berasal dari kenaikan biaya produksi, persaingan yang ketat, dan ketidakpastian ekonomi global. Meski begitu, sentimen positif bisa datang dari proyek-proyek strategis pemerintah.

Senior Market Analyst Mirae Asset Sekuritas Nafan Aji Gusta sepakat, kenaikan PPN 12% akan memberatkan emiten konstruksi. Tapi, jika emiten bisa meningkatkan perolehan kontrak baru, efek negatif PPN 12% bisa ditutupi.

Nafan menganalisa, emiten BUMN cenderung lebih mampu mendongkrak nilai kontrak baru ketimbang emiten konstruksi swasta. Penopangnya, keterlibatan langsung emiten BUMN Karya dalam berbagai proyek milik pemerintah. Cuma, buruknya arus kas masih menjadi sentimen negatif bagi emiten BUMN Karya.

Untuk trading, Nafan merekomendasi akumulasi beli saham ADHI, PTPP, dan WIKA dengan target harga masing-masing Rp 276, Rp 418, dan Rp 358 per saham. Sedangkan Sukarno masih merekomendasikan wait and see saham- saham emiten konstruksi.

Sumber : Harian Kontan 9 Desember 2024, Halaman 6

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only