Kontraksi Pajak Beresiko Memperlebar Shortfall

Penerimaan pajak hingga akhir Maret turun 18%, sementara hingga akhir April turun 27%

Dalamnya kontraksi pada awal tahun menjadi risiko kinerja penerimaan pajak sepanjang 2025. Bahkan, penerimaan pajak yang pada tahun lalu berbalik mencetak shortfall, diperkirakan kembali berlanjut ke tahun ini.

Shortfall penerimaan pajak adalah kondisi ketika realisasi lebih rendah dari target yang ditetapkan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Tahun ini, pemerintah membidik penerimaan pajak Rp 2.189,3 triliun, naik 13,29% dibandingkan dengan realisasi tahun 2024 yang sebesar Rp 1.932,4 triliun.

Sayangnya, hingga 31 Maret 2025, realisasi penerimaan pajak merujuk data Kementerian Keuangan (Kemkeu) hanya Rp 322,6 triliun, turun 18,10% year on year (YoY). Sedangkan hingga 30 April 2025, realisasi setoran pajak berdasarkan data Komisi XI DPR mencapai Rp 451,1 triliun, turun 27,72% YoY.

Pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar bilang, target penerimaan pajak di APBN 2025 sudah cukup berat, terutama bagi beberapa jenis pajak seperti pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh) 21. Peraturan Presiden No. 201/2024 tentang Rincian APBN 2025, menargetkan pe-nerimaan PPh 21 mencapai Rp 313,51 triliun, naik 28,59% dari realisasi 2024.

Adapun PPN dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) dipatok naik 14,08% YoY jadi Rp 945, 12 triliun.

Persoalannya, rencana pemerintah untuk mengerek tarif PPN dari 11% menjadi 12%, batal. Ditambah lagi, implementasi sistem pajak canggih melalui coretax administration system berantakan.

“Peningkatan restitusi, operasional risk dari implementasi coretax dan penyesuaian kebijakan tarif efektif rata-rata (TER) PPh 21 menjadi penyebab (turunnya penerimaan pajak),” tutur Fajry kepada KONTAN, Senin (12/5).

Hal ini belum mempertimbangkan faktor pelemahan ekonomi imbas penetapan tarif impor oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Terkait hal ini, lembaga internasional seperti World Bank dan International Monetary Fund telah memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2025 menjadi 4,7%, jauh dari target APBN 2025 di level 5,2%.

“Jika pertumbuhan ekonomi lebih rendah dibandingkan tahun lalu, shortfall penerimaan akan meningkat. Begitu pula dengan tax ratio, kami perkirakan akan menurun,” tandas Fajry.

Kepala Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Muhammad Rizal Taufikurahman menambahkan, turunnya harga komoditas unggulan seperti batubara dan CPO serta pelemahan aktivitas ekspor akibat perlambatan ekonomi global, turut memukul kinerja penerimaan pajak. Selain itu, basis penerimaan yang tinggi pada 2022 dan 2023 lalu, juga membuat pertumbuhan lebih sulit dicapai tanpa ekspansi basis pajak yang signifikan.

Hitungan Rizal, penerimaan pajak tahun ini bakal mencatatkan shortfall Rp 80 triliun hingga Rp 130 triliun. Penerimaan pajak tahun ini, dia perkirakan Rp 2.000 triliun hingga Rp 2.100 triliun.

Proyeksi shortfall ini, melebar dari tahun 2024 senilai Rp 56,5 triliun. Sementara tahun 2021, 2022, dan 2023 secara berturut-turut, penerimaan pajak melampaui target.

Pemeriksaan

Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono bilang, pemerintah masih punya delapan bulan tersisa untuk menutupi terkontraksinya penerimaan pajak di awal tahun ini. “Pemerintah harus optimis menggali potensi penerimaan pajak,” ujarnya.

Kata Prianto, pemerintah bisa mendorong penerimaan pajak dengan meningkatkan intensitas penerbitan Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK) dan pemeriksaan pajak. Namun, tantangan yang dihadapi petugas pajak adalah pembuktian transaksi.

“Karena siapapun wajib pajaknya pasti ingin efisiensi biaya pajak,” tandasnya.

Sumber : Harian Kontan 13 Mei 2025, Halaman 2

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only