Perlu Revisi Skema Hitung PPh Karyawan

Ditjen Pajak akan mengevaluasi skema tarif efektif rata-rata (TER) PPh Pasal 21

Otoritas pajak tengah mengkaji ulang penggunaan tarif efektif rata-rata (TER) dalam perhitungan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21. Pasalnya, mekanisme perhitungan ini dinilai menimbulkan banyak masalah, baik bagi Direktorat Jenderal Pajak, maupun karyawan.

Selama ini, skema TER diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 168 Tahun 2023. Lewat beleid tersebut, besaran PPh Pasal 21 dihitung dengan mengalikan tarif efektif bulanan Peraturan Pemerintah (PP) 58/2023 ke jumlah penghasilan bruto yang diterima pegawai tetap dalam satu masa pajak.

Nah, penghasilan teratur seperti gaji per bulan dan penghasilan tidak teratur seperti bonus, tidak dapat dipisahkan dalam perhitungan pajak. Dengan demikian, kedua jenis penghasilan tersebut dijumlahkan dan dikenai pe-motongan sebesar tarif efektif rata-rata (TER).

Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Bimo Wijayanto menjelaskan, prinsip utama dalam skema TER sebenarnya lebih terkait pada pengaturan waktu pengakuan dan pembebanan pajak penghasilan. Meski begitu, Bimo menyebutkan, sejumlah keluhan ahan sempat muncul di awal penerapan TER, meski kini sudah banyak teratasi. Sosialisasi dan pemahaman yang lebih luas di kalangan profesi turut membantu memperlancar implementasinya.

Namun demikian, setelah dua tahun diperkenalkan, pihaknya akan mengevaluasi skema perhitungan tersebut. “Evaluasinya akhir tahun kami akan review,” tandas Bimo.

Konsultan Pajak Botax Consulting Indonesia Raden Agus Suparman menjelaskan, skema TER memunculkan masalah di awal tahun. Tepatnya, pada masa pajak Januari dan Februari.

Dengan skema TER, banyak perusahaan mengalami kelebihan setor PPh Pasal 21 lantaran tarif efektif rata-rata yang terkadang lebih tinggi dibanding tarif progresif Pasal 17 Undang-Undang PPh.

Raden menjelaskan, skema TER digunakan untuk masa pajak Januari hingga November. Sementara masa pajak Desember menggunakan tarif Pasal 17 UU PPh.

“Karena rata-rata maka ada tarif yang sebenarnya di atas tarif Pasal 17 Undang-Undang PPh. Akibatnya, ketika dihitung ulang di akhir tahun dengan tarif sebenarnya, terjadi kelebihan bayar,” kata Raden.

Kelebihan bayar ini, lanjutnya, wajib dikembalikan kepada karyawan. Sayangnya, banyak perusahaan tidak mengembalikan ke karyawan lantaran dana tersebut terlanjur disetor ke kas negara.

Kondisi ini juga berdampak terhadap penerimaan pajak negara di awal tahun berikutnya. Raden menuturkan, karena masa pajak Desember umumnya mengalami kelebihan potong, sehingga tidak ada setoran PPh 21 di Januari tahun berikutnya.

Lebih stabil

Menurut Raden, metode lama jauh lebih adil dan stabil, karena hasil perhitungan sela)u konsisten dengan tarif yang berlaku di undang-undang. Alhasil, penerimaan negara tidak mengalami fluktuasi besar di awal tahun dan perusahaan juga tidak dibebani kewajiban mengembalikan kelebihan potong pajak ke karyawan.

Sementara itu, Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menyarankan Ditjen Pajak merevisi tarif TER PPh 21 ketimbang mengembalikannya ke metode awal. Menurut dia, besaran tarif TER yang berlaku saat ini menyebabkan lebih bayar yang cukup besar, terutama saat karyawan menerima bonus dan THR di lebaran.

“Kalau dikembalikan pun akan menjadi beban baru bagi wajib pajak karena sistem dan perhitungannya sudah mengadaptasi skema TER PPh 21.
Kita ambil jalan tengahnya saja, revisi besaran tarif TER PPh 21 agar jangan sampai besaran lebih bayarnya terlalu besar,” terang Fajry.

Sumber : Harian Kontan Selasa 28 Oktober 2025, Halaman 2

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only