Insentif Pajak Wisata Tak Dorong Konsumsi

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memperluas pemberian insentif pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 Di-tanggung Pemerintah (DTP) ke sektor pariwisata melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 72 Tahun 2025. Insentif ini ditujukan bagi pegawai hotel, restoran, kafe, biro perjalanan wisata, penyelenggara acara dan taman rekreasi. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menjelaskan, perluasan fasilitas fiskal ini merupakan bagian dari Paket Kebijakan Ekonomi 2025 untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional dan memperluas penciptaan lapangan kerja.

Beleid ini ditujukan mendorong pertumbuhan ekonomi dan memperluas penciptaan lapangan kerja bagi masyarakat. Pegawai yang bekerja di industri pariwisata berhak atas insentif PPh 21 DTP untuk masa pajak Oktober-Desember 2025.

Dengan kebijakan ini, pajak penghasilan yang seharusnya – dipotong dari gaji akan sepenuhnya ditanggung pemerintah selama tiga bulan terakhir tahun ini. Selain itu, pekerja sektor manufaktur seperti tekstil, alas kaki, furnitur, serta kulit dan barang dari kulit, juga dapat fasilitas PPh 21 DTP di Januari-Desember 2025.

Perusahaan penerima insentif wajib membuat bukti pemotongan serta melaporkannya dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh 21/26. Nanti dicatat kelebihan pemotongan, bagian pajak pajak yang tidak ditanggung pemerintah dapat dikembalikan ke masa pajak berikutnya.

Insentif ini wajar karena sektor ini menuai dampak negatif efisiensi anggaran.

Myrdal Gunarto, Global Market Economist Maybank Indonesia menilai, kebijakan ini dirancang untuk mengompensasi dampak kebijakan efisiensi anggaran pada awal 2025. Menurutnya, efisiensi anggaran tersebut berimbas ke sektor yang biasanya memperoleh manfaat dari aktivitas perjalanan dinas dan rapat, seperti hotel dan restoran

Kalau saya lihat wajar saja, karena sektor ini pada awal tahun mendapatkan dampak negatif dari kebijakan efisiensi anggaran pemerintah,” ujar Myrdal. Kebijakan ini sejálan upaya pemerintah untuk menjaga kinerja sektor hotel, restoran, dan kafe (horeka). Namun, Myrdal mengingatkan perlu kehati-hatian jika insentif diperluas ke sektor lain.

Menurut Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin, insentif tersebut belum mendorong perekonomian, mengingat masa berlaku hanya enam bulan. Menurut dia, insentif tersebut juga tidak banyak yang memanfaatkan, karena kebanyakan pekerja di sektor informal, sehingga tak membayar pajak.

Sumber: Harian Kontan, Kamis 30 Oktober 2025 Hal 2

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only