Menata ulang insentif pajak melalui sunset clause policy

Dalam beberapa tahun terakhir, istilah insentif pajak begitu sering menghiasi ruang publik. Pemerintah menempatkannya sebagai salah satu alat utama kebijakan fiskal untuk menjaga daya saing, menarik investasi, dan menumbuhkan lapangan kerja.

Dari tax holiday, hingga super deduction, dari pembebasan pajak pertambahan nilai (PPN), hingga bea masuk ditanggung pemerintah. Beragam fasilitas itu diharapkan dapat memberi dorongan tambahan bagi ekonomi nasional.

Hanya saja, semakin lama, kita mulai dihadapkan pada pertanyaan yang lebih mendasar: Apakah semua insentif itu masih relevan dan efektif? Apakah setiap fasilitas benar-benar menghasilkan manfaat ekonomi yang sebanding dengan penerimaan negara yang dikorbankan? Dan apakah kita masih bisa terus bergantung pada kebijakan fiskal berbasis insentif, ketika ruang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) semakin sempit?

Pertanyaan-pertanyaan itu semakin penting di tengah meningkatnya beban fiskal dan tekanan pembiayaan publik. Menurut laporan Kementerian Keuangan tahun 2023, nilai belanja perpajakan atau tax expenditure Indonesia telah mencapai Rp362,5 triliun, setara 1,73 persen dari PDB. Angka itu menunjukkan potensi penerimaan yang “hilang” akibat berbagai fasilitas perpajakan yang diberikan kepada dunia usaha.

Belanja perpajakan sebesar itu, tentu bukan hal yang kecil. Dalam konteks postur APBN, jumlah tersebut, bahkan mendekati alokasi anggaran untuk pendidikan tinggi atau kesehatan masyarakat. Lain halnya dengan belanja langsung, belanja perpajakan seringkali tidak terlihat karena tersembunyi di balik kebijakan tarif dan pengecualian pajak.

Di sinilah persoalan utamanya, tidak semua insentif pajak punya dampak ekonomi yang sepadan dengan biaya fiskalnya. Beberapa program terbukti efektif, antara lain insentif pada masa pandemi yang menahan kontraksi konsumsi dan menjaga dunia usaha tetap beroperasi.

Meskipun demikian, tidak sedikit pula yang terus diperpanjang, meski efeknya terhadap penciptaan kerja, ekspor, atau investasi semakin menurun. Sebagian, bahkan sudah kehilangan relevansi karena sektor penerima sudah berkembang pesat, tanpa lagi membutuhkan dorongan fiskal.

Di tengah situasi inilah, muncul gagasan yang kian mengemuka di berbagai forum ekonomi, akademik, hingga pembahasan di parlemen, yaitu perlunya penerapan sunset clause policy sebagai sebuah mekanisme yang menetapkan batas waktu dan evaluasi bagi setiap insentif pajak agar tidak menjadi beban permanen bagi fiskal negara.

Dalam konteks reformasi kebijakan fiskal Indonesia, sunset clause policy adalah simbol dari tata kelola insentif yang lebih modern, transparan, dan berbasis hasil (result-based policy). Prinsip ini akan memaksa setiap kebijakan insentif untuk bertanggung jawab terhadap kinerjanya, sekaligus mendorong efisiensi dalam penggunaan sumber daya fiskal.

Lebih jauh, penerapan sunset clause policy dapat menjadi bagian penting dari reformasi insentif fiskal Indonesia, di mana arah kebijakan tidak lagi berfokus pada “kuantitas fasilitas yang diberikan,” tetapi pada “seberapa besar kualitas nyata yang dihasilkan” terhadap investasi produktif, penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan tax ratio nasional.

Instrumen dinamis

Konsep, kebijakan sunset clause sebenarnya bukan hal baru di dunia kebijakan publik. Istilah ini lazim digunakan di negara-negara, seperti Australia, Kanada, dan Korea Selatan, untuk memastikan bahwa setiap kebijakan fiskal memiliki masa berlaku dan indikator kinerja yang jelas.

Secara sederhana, kebijakan sunset clause berarti sebuah peraturan atau fasilitas akan berakhir secara otomatis, setelah jangka waktu tertentu, kecuali diperbarui berdasarkan hasil evaluasi yang menyeluruh. Prinsipnya sederhana: tidak ada insentif yang berlaku selamanya.

Kebijakan pajak, seperti insentif sejatinya adalah instrumen yang bersifat dinamis, dimana pelaksanaannya harus menyesuaikan dengan siklus ekonomi, perubahan teknologi, dan arah pembangunan nasional. Jika suatu fasilitas tidak lagi relevan atau tidak memberikan dampak yang memadai, maka sudah sepatutnya dikaji ulang atau dihentikan.

Dengan penerapan sunset clause policy, diharapkan pemerintah dapat meminimalkan distorsi fiskal dan mendorong efisiensi penggunaan sumber daya publik. Setiap rupiah yang “hilang” karena insentif harus mampu menciptakan nilai tambah yang lebih besar dalam bentuk investasi baru, penyerapan tenaga kerja, peningkatan produktivitas, atau ekspansi pasar.

Tanpa batas waktu dan mekanisme evaluasi, insentif justru berpotensi menjadi beban fiskal yang terselubung. Bahkan, dalam beberapa kasus, insentif bisa disalahgunakan untuk tujuan jangka pendek, seperti melobi fasilitas baru, menjelang pemilu, atau mempertahankan sektor yang sudah tidak lagi strategis.

Kebutuhan akan sunset clause policy menjadi semakin mendesak, ketika ruang fiskal kita semakin terbatas. Pemerintah, pada tahun 2005, sesungguhnya masih menghadapi tantangan defisit struktural, sementara kebutuhan belanja publik terus meningkat untuk pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan subsidi sosial.

Dalam situasi semacam itu, efisiensi kebijakan menjadi kunci. Setiap pengeluaran, termasuk pengeluaran dalam bentuk “pajak yang tidak dipungut”, harus bisa dipertanggungjawabkan dari sisi manfaatnya. Selain itu, era digital dan keterbukaan data juga menuntut akuntabilitas baru, baik dunia usaha yang menginginkan kepastian hukum dan kebijakan yang semakin tegas, serta masyarakat semakin cermat menilai bagaimana uang publik, termasuk dalam bentuk insentif pajak yang digunakan.

implementasi sunset clause policy akan menjawab dua kebutuhan sekaligus, efisiensi fiskal dan transparansi publik, serta memastikan kebijakan tidak berjalan otomatis, tanpa pengawasan, disusun berdasarkan data, serta paling penting bukan sekadar keinginan politik.

Insentif terukur

Evaluasi insentif pajak sebenarnya sudah mulai dilakukan oleh pemerintah, namun hasilnya menunjukkan bahwa banyak fasilitas yang belum optimal, misalnya super deduction tax untuk kegiatan vokasi dan riset yang diharapkan bisa memperkuat kualitas SDM dan inovasi industri, ternyata masih minim pemanfaatan. Menurut data Ditjen Pajak, hanya sebagian kecil perusahaan besar yang mengajukan fasilitas tersebut. Penyebabnya beragam, mulai dari rumitnya administrasi, hingga kurangnya pemahaman pelaku usaha terhadap manfaat jangka panjangnya.

Insentif lainnya yang butuh juga dievaluasi adalah tax holiday untuk industri pionir. Fasilitas ini berhasil menarik sejumlah investasi strategis di sektor logam dasar dan kimia, namun dampaknya terhadap ekspor dan penciptaan kerja belum signifikan. Banyak proyek yang masih dalam tahap konstruksi atau baru menghasilkan dalam jangka panjang.

Sebaliknya, ada pula insentif yang justru terlalu lama dipertahankan, tanpa dampak lanjutan, seperti pembebasan PPN untuk sektor-sektor yang seharusnya sudah bisa berdiri sendiri. Tanpa sunset clause, insentif seperti ini cenderung menjadi kebiasaan fiskal yang sulit dihentikan karena tekanan politik atau lobi sektor tertentu. Hal ini, apabila dikaji ulang, dana yang “hilang” dari insentif semacam itu bisa dialihkan untuk program yang lebih produktif, seperti dukungan pembiayaan UMKM, insentif riset hijau, dan atau peningkatan infrastruktur logistik yang manfaatnya jauh lebih luas.

Untuk menjadikan sunset clause policy bukan sekadar jargon, otoritas terkait perlu merancang sistem yang terukur dan berlapis. Ada beberapa prinsip dasar yang bisa menjadi panduan sebagai berikut:

Pertama, setiap insentif harus memiliki masa berlaku yang jelas. Tidak boleh ada fasilitas yang berlaku, tanpa batas waktu, misalnya, tax holiday diberikan hanya untuk lima tahun dan harus dievaluasi ulang, sebelum diperpanjang.

Kedua, evaluasi harus berbasis data dan dilakukan secara independen. Artinya, penilaian terhadap efektivitas insentif tidak hanya dilakukan oleh instansi pemberi, tetapi juga melibatkan lembaga lain, seperti Bappenas, akademisi, bahkan lembaga audit.

Ketiga, transparansi laporan belanja perpajakan harus diperkuat. Negara-negara maju, seperti Australia, Selandia Baru, dan Kanada, memublikasikan laporan tax expenditure setiap tahun, lengkap dengan analisis hasil dan rekomendasi perbaikan. Indonesia, seharusnya menuju ke arah laporan belanja perpajakan yang integral dari dokumen APBN serta dapat diakses publik.

Keempat, integrasi data digital. Melalui implementasi sistem coretax administration di Ditjen Pajak, Indonesia kini memiliki peluang besar untuk menghubungkan data penerima insentif dengan kinerja usahanya. Melalui integrasi ini, pemerintah dapat menilai apakah insentif benar-benar mendorong peningkatan omzet, kepatuhan, dan penciptaan lapangan kerja.

Kelima, membangun mekanisme otomatisasi kebijakan, misalnya, jika hasil evaluasi menunjukkan dampak positif di atas target, fasilitas bisa diperpanjang secara otomatis untuk periode tertentu. Sebaliknya, jika hasilnya tidak signifikan, maka insentif berakhir, tanpa perlu proses birokrasi panjang.

Pembelajaran

Negara-negara yang sukses menerapkan sunset clause policy, umumnya memiliki dua ciri utama: tata kelola fiskal yang disiplin dan budaya evaluasi yang kuat. Di Australia, misalnya, setiap tax expenditure dikaji setiap tiga tahun oleh Australian National Audit Office dengan indikator yang ketat: dampak terhadap PDB, penciptaan kerja, serta penerimaan pajak lanjutan. Fasilitas yang tidak memenuhi target akan otomatis dihentikan atau diganti dengan skema baru. Selanjutnya Korea Selatan juga menerapkan sistem serupa, melalui Tax Expenditure Management Act yang mewajibkan semua insentif memiliki masa berlaku maksimal lima tahun. Hasil evaluasi diserahkan ke parlemen untuk dibahas bersama anggaran tahunan. Model ini memperkuat kontrol publik dan menghindari penggunaan insentif untuk kepentingan politik jangka pendek.

Dari pengalaman tersebut, Indonesia bisa belajar bahwa sunset clause policy, bukan sekadar instrumen teknis, melainkan simbol kedewasaan fiskal. Hal ini menunjukkan konsensus bahwa kebijakan publik tidak boleh abadi dan hanya relevansi dan dampak yang boleh bertahan. Meskipun demikian, pelaksanaan di Indonesia tentunya tidak semudah membalik telapak tangan. Tantangan pertama datang dari resistensi dunia usaha. Bagi sebagian sektor, kepastian keberlanjutan insentif adalah bagian dari kalkulasi investasi jangka panjang. Ketika fasilitas dihapus atau direvisi, mereka khawatir stabilitas usahanya terganggu.

Untuk itu diperlukan strategi komunikasi kebijakan yang efektif, bahwa penerapan sunset clause policy bukan berarti menghentikan semua insentif, tetapi memastikan bahwa setiap fasilitas diperbarui berdasarkan hasil nyata. Jika dampaknya positif, tentu tidak ada alasan untuk mencabutnya. Tantangan berikutnya adalah kemampuan pemerintah dalam melakukan evaluasi berbasis data. Hingga kini, sistem pelaporan dampak ekonomi dari penerima insentif masih tersebar di berbagai instansi dan belum terintegrasi sepenuhnya. Karena itu diperlukan sinergi antara Ditjen Pajak, BKPM, BPS, dan Bappenas untuk membangun basis data terpadu.

Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah konsistensi politik. Evaluasi insentif dapat berkembang menjadi isu yang sensitif karena menyangkut kepentingan sektor industri tertentu. Untuk itu, keberanian politik pemerintah menjadi faktor yang sangat penting atau implementasi kebijakan tersebut hanya akan menjadi catatan di atas kertas.

Kredibilitas fiskal

Pada akhirnya, sunset clause policy merupakan bagian dari evolusi kebijakan fiskal Indonesia menuju tata kelola yang lebih cerdas, adaptif, dan akuntabel. Dalam konteks ini, kebijakan dimaksud bukan hanya berfungsi sebagai mekanisme teknis penghentian insentif, tetapi juga sebagai wujud kedewasaan fiskal bahwa setiap rupiah penerimaan negara yang dilepaskan melalui insentif harus dapat dipertanggungjawabkan manfaatnya bagi publik.

Reformasi perpajakan yang kini tengah berjalan, baik melalui digitalisasi sistem (Coretax Administration System), perluasan basis pajak, hingga peningkatan kepatuhan sukarela, akan menjadi semakin kokoh apabila diimbangi oleh reformasi belanja perpajakan di sisi pengeluaran fiskal. Dengan demikian, kebijakan dimaksud hadir sebagai pagar pengaman agar setiap insentif tidak menjadi beban abadi, melainkan tetap selaras dengan arah dan prioritas pembangunan nasional.

Lebih jauh, penerapan sunset clause policy juga akan memperkuat kapasitas kebijakan fiskal Indonesia dalam era Pajak Minimum Global (Global Minimum Tax/GMT) yang mulai berlaku secara internasional. Hal ini sebagai konsekuensi atas penerapan prinsip negara tidak lagi dapat bersaing dengan tarif pajak rendah atau pemberian insentif besar-besaran, yang dikarenakan setiap potongan pajak akan dikompensasi oleh yurisdiksi asal perusahaan multinasional. Artinya, perlombaan menawarkan insentif fiskal menjadi tidak relevan, bahkan kontraproduktif. Di sinilah pentingnya sunset clause policy untuk memastikan bahwa kebijakan fiskal Indonesia bergerak menuju kompetisi kualitas, bukan kompetisi tarif. Ke depan, daya saing akan bergeser pada aspek efisiensi birokrasi, transparansi kebijakan, infrastruktur investasi, dan kepastian hukum melalui faktor-faktor yang lebih berkelanjutan dalam menarik investasi produktif.

Pada tataran strategis, kebijakan sunset clause akan menjadi tolak ukur kredibilitas fiskal Indonesia di mata investor global. Ketika negara mampu menunjukkan bahwa setiap insentif memiliki batas waktu, mekanisme evaluasi, dan indikator manfaat yang terukur, maka iklim investasi akan terbentuk di atas kepastian, bukan lobi atau kompromi. Lebih dari itu, penerapan kebijakan ini dapat memperkuat disiplin fiskal dan meningkatkan kepercayaan terhadap institusi keuangan negara. Dunia akan melihat bahwa Indonesia bukan lagi sekadar penerima arus modal, tetapi aktor fiskal modern yang mampu menyeimbangkan pertumbuhan dan keberlanjutan. Hal itu menunjukkan sunset clause policy bukan sekadar langkah administratif, melainkan bagian integral dari transformasi fiskal menuju Indonesia yang lebih kuat, kredibel, dan berdaya saing di panggung global.

Jalan tengah

Setiap kebijakan publik memiliki masa hidupnya sendiri. Ia lahir, tumbuh, memberi manfaat, lalu suatu saat harus dievaluasi agar tidak kehilangan arah. Demikian pula insentif pajak, tidak ada kebijakan yang selamanya baik, namun yang abadi hanyalah kebutuhan untuk terus menyesuaikan diri dengan zaman. Untuk itu sunset clause policy menawarkan jalan tengah yang bijak: bukan menolak insentif, tapi menatanya ulang agar tetap relevan dan efisien. Ia membantu pemerintah menjaga disiplin fiskal, tanpa menutup ruang bagi inovasi kebijakan. Selanjutnya kebijakan ini juga memberi dunia usaha kepastian bahwa kebijakan dibuat dengan dasar objektif dan transparan.

Dalam metafora ekonomi, sunset clause policy adalah senja yang menandai pergantian hari dan bukan simbol berakhirnya cahaya, melainkan awal dari siklus baru kebijakan yang lebih matang. Dari senja yang teratur, akan lahir pagi fiskal yang lebih terang, yakni sebuah sistem perpajakan yang adil, efektif, dan berpihak pada pertumbuhan berkelanjutan. Sehingga di masa depan, ketika laporan belanja perpajakan dibuka dengan jujur, ketika setiap insentif memiliki tanggal kedaluwarsa yang jelas, dan ketika dunia usaha tidak lagi menggantungkan diri pada fasilitas fiskal, melainkan pada daya saing nyata, maka di situlah kita bisa berkata bahwa kebijakan ini telah menunaikan misinya: menata ulang insentif pajak Indonesia menuju keadilan dan efisiensi fiskal yang sesungguhnya.

Sumber : www.antaranews.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only