Pajak Karbon Bisa Picu Harga Listrik-BBM Naik, RI Tagih Dukungan Asing Turunkan Emisi

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengakui adanya risiko kenaikan harga energi di balik penerapan pajak karbon sebagaimana yang diamanatkan pada Undang-Undang (UU) Nomor 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Untuk diketahui, penerapan pajak karbon di Indonesia diatur dalam pasal 13 ayat (3) UU HPP. Penerapan pajak itu sejalan dengan target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK), yang diamanatkan dalam sasaran national determined contribution (NDC) dan net zero emission paling lambat 2060.

Sektor-sektor yang menjadi prioritas yakni energi, transportasi dan kehutanan.

Pada rapat dengan Komisi XI DPR, Senin (17/11/2025), Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kemenkeu Febrio Nathan Kacaribu memaparkan sejumlah tantangan yang dihadapi Indonesia dalam rangka penerapan pajak karbon. Salah satunya yakni potensi negatif terhadap kenaikan biaya energi. 

“Potensi dampak pajak karbon yang akan negatif terhadap ekonomi makro, risiko kenaikan biaya energi seperti kami simulasikan BPP listrik dan bahan bakar fosil. Ini sudah jelas,” terang Febrio di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, dikutip pada Selasa (18/11/2025).

Risiko yang mengintai di balik upaya iklim itu, terang Febrio, harapannya bisa diimbangi dengan perdagangan di bursa karbon, atau IDXCarbon. Menurutnya, pemerintah menargetkan agar karbon kredit yang diperjualbelikan di IDXCarbon bisa memberikan kompensasi terhadap tambahan biaya dalam usaha menurunkan emisi.

Masalahnya, Febrio juga secara tidak langsung mengakui bahwa minat dari bursa karbon masih rendah. Hal itu dilihat salah satunya dari masih sedikitnya proyek di pasar karbon, dan seluruhnya terafiliasi BUMN.

“Kalau kami lihat dari pasar yang sudah dibuka ini, proyek-proyek yang sudah masuk ke dalamnya memang belum banyak. Beberapa proyek yang sudah berhasil masuk ke dalam pasar dan melakukan [carbon] trading di antaranya Pertamina Geothermal Energy dia bisa menjual carbon credit-nya,” terang pria yang sebelumnya menjabat Kepala Badan Kebijakan Fiskal itu.

Febrio juga mengakui masih sedikit angka yang direalisasikan dalam konteks unit karbon yang diperdagangkan. Dia memaparkan, terdapat 16 pengguna pada saat IDXCarbon dibuka pertama kali 26 September 2023. Dalam kurun waktu dua tahun atau sampai dengan 1 Oktober 2025, penggunanya meningkat ke 132 pengguna.

Adapun berdasarkan volume karbon yang diperdagangkan, jumlahnya meningkat dari 459.953 ton unit karbon saat pembukaan bursa menjadi 1.606.056 ton unit karbon per 1 Oktober 2025.

Berdasarkan nilai yang diperdagangkan, peningkatannya yakni hanya Rp30 miliar atau setara US$2 juta ke Rp78,4 miliar atau US$4,7 juta.

Sementara itu, jumlah transaksinya meningkat dari 27 kali pada pertama kali bursa dibuka ke 300 kali saat 1 Oktober 2025.

Kendati demikian, secara umum Febrio mengeklaim upaya penurunan GRK oleh Indonesia lebih cepat dibandingkan dengan negara-negara lain. Surplus karbon kredit Indonesia, terangnya, sudah mencapai 1.000 juta ton.

Ke depan, pemerintah berfokus pada menagih komitmen negara-negara lain untuk mendanai upaya penurunan emisi oleh Indonesia. Dia menyebut pemerintah justru tidak ingin semakin membebani perusahaan-perusahaan nasional yang telah mendorong penurunan emisi, dengan pemungutan pajak karbon.

“Mohon dukungannya supaya kami bisa jual karbon kredit agar global justru menunjukkan tanggung jawabnya. Jangan sampai kita malah tambah lagi beban dengan pajak karbon,” pungkas Febrio. 

Sumber : ekonomi.bisnis.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only