Bahas Pajak Impor Pakaian Bekas, DPR akan Panggil Kemenkeu dan Kemendag

Dewan Perwakilan Rakyat akan memanggil pemerintah untuk membahas potensi kembali diaturnya pajak impor pakaian bekas. Seperti diketahui, pajak impor pakaian bekas sebelumnya ditentukan dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 132 Tahun 2015 yang dicabut pada 2017.

Anggota Komisi VI DPR Adisatrya Suryo Sulisto menyatakan Komisi VI telah menerima penjelasan dari Aliansi Pedagang Pakaian Bekas Indonesia atau APPBI terkait kondisi industri pakaian bekas di dalam negeri. Menurutnya, legislator akan membahas usulan APPBI terkait penetapan pajak khusus pakaian bekas impor bersama pemangku kepentingan.

“Komisi VI DPR akan menindaklanjuti pembahasan ini dengan menggelar rapat-rapat bersama mitra, lintas komisi dan memanggil pihak terkait,” kata Adisatrya yang memimpin Rapat Dengar Pendapat Umum bersama APPBI, Selasa (2/12)

Secara rinci, APPBI mengusulkan agar pakaian bekas impor dikenakan bea masuk tambahan antara 7,5% sampai 10%. Dengan demikian, kontribusi pajak pada pakaian bekas impor mencapai 33,5% sampai 36%.

Ketua APPBI WR Rahasdikin mengatakan pedagang pakaian bekas impor kini harus membayarkan tiga jenis pajak, yakni bea masuk sebesar 7,5%, pajak pertambahan nilai 11%, dan pajak penghasilan impor 7,5%. Selain itu, Rahasikin mengaku mengeluarkan ongkos Rp 550 juta per kontainer sebagai biaya pengiriman pakaian bekas impor tersebut.

“Komisi VI DPR telah menerima usulan kami dan akan memanggil Kementerian Perdagangan dan Kementerian Keuangan. Kami berharap usulan ini dipenuhi karena industri pakaian bekas impor menyangkut hajat hidup orang banyak,” kata Ketua APPBI WR Rahasdikin di Gedung DPR, Selasa (2/12).

Seperti diketahui, pemerintah telah menetapkan barang-barang yang dilarang untuk diimpor melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 10 Tahun 2024. Dengan kata lain, Rahasdikin mendorong agar pemerintah merevisi kebijakan tersebut untuk melegalkan praktek impor pakaian bekas.

Rahasdikin mendata sekitar 10 juta orang terlibat dalam ekosistem industri pakaian bekas impor, seperti dari kuli panggul, buruh jahit, dan buruh setrika. Menurutnya, pemasukan pakaian bekas impor sebagai barang yang dikecualikan dari larangan terbatas impor merupakan jalan keluar permanen.

Dia berargumen pakaian bekas masih dapat diimpor lantaran ada ratusan pos tarif yang rancu dalam PMK No. 10 Tahun 2024. Sebab, pos tarif dalam kebijakan tersebut tidak menjelaskan apakah barang yang diimpor dalam keadaan baru atau bekas.

“Pedagang pakain bekas impor mengajukan pajak impor pakaian bekas agar usaha kami tetap eksis,” katanya. Rahasdikin menghitung pedagang pakaian bekas dapat menyumbang Rp 10 triliun per tahun ke kas negara melalui pemenuhan pajak belanja  daring. Selain itu, Rahasdikin berargumen pedagang pakaian bekas tidak bersaing dengan industri garmen lokal karena keduanya memiliki segmen pasar berbeda.

Menurut dia, segmen pasar utama pedagang pakaian bekas adalah masyarakat dengan penghasilan setara upah minimum regional. Upah minimum saat ini memaksa masyarakat dalam kelompok tersebut tidak dapat membeli pakaian secara rutin.

“Untuk beli celana baru senilai Rp 200.000 per unit dengan asumsi upah minimum senilai Rp 2,5 juta per bulan, sepertinya berat untuk beli celana tiap bulan. Maka dari itu, masyarakat dalam kelompok tersebut beralih membeli pakaian bekas,” katanya.

Terakhir, Rahasdikin memberikan sinyal maraknya pedagang pakaian bekas di dalam negeri berdaya saing rendah. Tingginya harga pakaian dari industri dalam negeri membuat pedagang pakaian tidak bisa menutup biaya sewa di pasar antara Rp 50 juta sampai Rp 100 juta per bulan.

Alhasil, Rahasdikin menyatakan mayoritas pedagang pakaian kini beralih ke lokapasar atau menjual pakaian bekas dengan harga lebih rendah. Karena itu, Rahasdikin menekankan pedagang pakaian bekas tidak berusaha mematikan industri garmen di dalam negeri.

Sumber : katadata.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only