Pakar Pajak: Banyak Masalah dalam Penghapusan Piutang Negara

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencatat terdapat tiga permasalahan yang harus segera diselesaikan Kementerian Keuangan pada laporan keuangan 2018. Permasalahan itu adalah penatausahaan piutang perpajakan, penetapan tarif bea keluar PT Freeport Indonesia, dan penanganan bea masuk anti dumping penjualan baja di Pulau Batam.

Pengamat pajak Yustinus Prastowo menilai, soal tunggakan pajak memang menjadi masalah klasik dari tahun ke tahun dan selalu menjadi catatan BPK. “Dalam penatausahaannya sudah ada perbaikan, namun problem-nya di sisi penghapusan piutang,” kata dia saat dihubungi Katadata.co.id, Kamis (13/6).

Yustinus berpendapat, piutang yang sudah tidak mungkin ditagih sesuai undang-undang dan peraturan menteri seharusnya bisa dihapus. Namun, penghapusannya seringkali tidak bisa dilakukan dengan alasan yang sangat praktis. “Alasannya, mereka takut dituduh merugikan keuangan negara,” ucapnya. Karena itu, Kementerian perlu duduk bersama BPK untuk menyepakati tindakan penagihan yang optimal.

Untuk masalah penetapan tarif bea keluar PT Freeport, sebelumnya BPK menemukan adanya potensi pengembalian bea keluar sebesar Rp 1,82 triliun atas ekspor konsentrat tembaga dari perusahaan itu. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan tarif bea keluar dalam Nota Kesepahaman antara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan PT Freeport Indonesia dengan aturan Kementerian Keuangan.

Yustinus mengatakan, sudah ada payung hukum tentang peraturan Menteri ESDM yang memberikan izin Freeport mengekspor konsentrat dengan membayar sejumlah bea keluar tertentu. “Nah, peraturan ini yang harus disesuaikan dengan tarif bea keluar dari Kementrian Keuangan,” katanya.

Adapun mengenai penanganan bea masuk anti dumping penjualan baja di Pulau Batam, menurut dia, perlu kesamaan interpretasi pada permasalahan ini. Karena itu, Yustinus menyarankan pembuatan nota kesepahaman (MoU) atau Surat Keterangan (SK) bersama antara BPK dan Kementrian Keuangan.

Tujuannya, agar tidak terjadi perbedaan di lapangan dan tidak terjadi multitafsir dalam bea masuk. Dampak perbedaan interpretasi ini dinilai Yustinus tidak sekadar memengaruhi administrasi negara saja, namun kepastian hukum dalam bisnis. “Jangan sampai ini berdampak pada opsi bisnis yang menciptakan ketidakpastian atau bahkan pidana,” katanya.

Sri Mulyani berpendapat bahwa sejumlah permasalahan dalam laporan keuangan Pemerintah Pusat karena kelemahan pengendalian internal dan ketidakpatuhan di dalam menata usaha kas, pengelolaan persediaan dan aset tetap, serta pengelolaan penerimaan negara bukan pajak, juga pelaksanaan penganggaran. “Namun kami akan berusaha sebaik mungkin dalam memperbaiki hal ini,” kata dia di Gedung BPK, Jakarta, kemarin.

Sumber : katadata.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only