Kemenkeu Kaji Aturan PPN Konten Digital Perusahaan di Luar Negeri

Jakarta – Kementerian Keuangan bakal meninjau ulang aturan soal Pajak Pertambahan Nilai atau PPN guna meraup pajak dari konten digital. Selama ini pemungutan pajak untuk produk digital memang masih menjadi topik diskusi hangat di berbagai kalangan.

Salah satu persoalannya adalah lantaran produk-produk digital itu banyaknya disediakan perusahaan luar negeri yang belum terdaftar sebagai Badan Usaha Tetap di Indonesia. Padahal, berdasarkan Undang-undang PPN Nomor 42 Tahun 2009, pajak yang dikenakan terhadap barang pertambahan nilai barang dan jasa, dikenakan terhadap Pengusaha Kena Pajak dengan mewajibkan mereka untuk memungut 10 persen pajak terhadap barang atau jasanya yang dibeli konsumen.

“Sekarang kalau mau memajaki PPN atas lagu yang ada di ponsel, yang harus memungut siapa? Ada lagi di Spotify, bayar per bulan misalnya Rp 60 ribu, harusnya di dalam Rp 60 ribu ada 10 persen PPN, tapi sekarang yang nerima perusahaan di sana (luar negeri), jadi sekarang wajib pungutnya siapa? Ini yang sedang kami tangani,” ujar Kepala Badan Kebijakan Fiskal Suahasil Nazara di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin, 8 Juli 2019.

Dengan meninjau ulang peraturan perundang-undangan yang berlaku, pemerintah berencana membuat perusahaan luar negeri tersebut sebagai wajib pungut. Sehingga mereka wajib memungut dan menyetorkannya ke kas negara. Praktik ini, menurut Suahasil, sudah diterapkan di beberapa negara, salah satunya Australia.

“Kalau di Australia misalnya Anda berlangganan Netflix, maka biaya Netflix itu di dalamnya sudah ada PPN-nya. Kalau kita mau menerapkan PPN itu maka kita mesti bisa menunjuk itu (wajib pungut),” ujar Suahasil.

Suahasill menjelaskan sulitnya memajaki perusahaan-perusahaan berproduk digital, seperti penyedia musik digital ataupun aplikasi. Pajak digital belakangan memang menjadi perdebatan dan perbincangan antara negara besar dunia, termasuk Indonesia.

Padahal produk digital saat ini sudah sangat diminati masyarakat. “Semua pegang ponsel, semua mainin lagu, belinya dari mana? Ada yang dari Indonesia maupun dari luar, kalau beli barang pun harusnya ada PPN (Pajak Pertambahan Nilai)-nya, sekarang PPN-nya punya siapa? Produsen di luar negeri atau Indonesia?” kata Suahasil.

Hal itu saja, tutur Suahasil, sudah menjadi perdebatan yang alot. Belum lagi ketika perusahaan yang berjualan konten tersebut mendapat keuntungan dari berjualan di Indonesia. Hal tersebut kembali menjadi pertanyaan apakah Indonesia punya hak atau tidak atas keuntungan tersebut.

“Nah kalau kita PPh (Pajak Penghasilan) itu kan dari keuntungan kan, tapi keuntungan itu bukan keuntungan perusahan Indonesia, meski dia jualannya di Indonesia. Nah itu hak pemajakannya bagaimana membaginya?” kata Suahasil.

Atas keruwetan itu, sejumlah negara pun terus berdiskusi soal pembagian hak pemajakan tersebut. Persoalan itu selalu mengudara di setiap pertemuan multinasional, misalnya pertemuan G20. Bahkan, G20 sudah menugasi The Organisation for Economic Co-operation and Development alias OECD untuk membuat studi terkait konsep pemajakan di tingkat Internasional.

Nantinya, hasil studi itu diharapkan bisa menjadi acuan bagi Indonesia untuk merumuskan kebijakan, seperti halnya Indonesia mengikuti Automatic Exchange of Information maupun Action Plan on base Erosion and Profit shifting. “Jadi OECD sebagai suatu think tank tahun ini sedang ditugasi oleh negara-negara G20 untuk mencoba bikin, lalu nanti kita diskusikan lagi sama-sama,” kata dia.

Sumber : tempo.co

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only