Perlu Gerak Cepat Biar Ekonomi Tak Melambat

Dana Moneter Internasional (IMF) membunyikan alarm atas ekonomi dunia. Dalam update Outlook Ekonomi Dunia kuartalan yang mereka keluarkan pekan ini mereka memperingatkan ekonomi dunia akan menghadapi masa ‘genting’ pada 2020 mendatang.

Kegentingan tersebut merupakan imbas dari ketegangan dagang yang terjadi antar Amerika Serikat (AS) belakangan ini. Kegentingan juga terjadi akibat berlanjutnya ketidakpastian keluarnya Inggris dari Uni Eropa tanpa kesepakatan.

Masalah tersebut telah membuat perdagangan global melambat. Pada kuartal I 2019, pertumbuhannya hanya sekitar 0,5 persen secara tahunan setelah merosot di bawah 2 persen pada kuartal keempat 2018.

Peringatan pun sudah ditangkap Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara dan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Kedua pejabat penting tersebut sudah menangkap bahwa lesunya ekonomi global telah berimbas ke dalam negeri.

Lihat juga:Peringatan IMF, Ekonomi Dunia ‘Genting’ pada 2020
Imbas tercium dari penurunan kinerja neraca perdagangan, baik ekspor maupun impor. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor Juni 2019 hanya mencapai US$11,78 miliar.

Realisasi tersebut turun sekitar 20,54 persen dari Mei 2019 dan turun 8,98 persen dari Juni 2018. Sementara, realisasi kumulatif ekspor Januari-Juni 2019 sebesar US$80,32 miliar atau turun 8,57 persen dari Januari-Juni 2018.

Begitu pula dengan impor. Kinerja impor Juni 2019 sebesar US$11,58 miliar atau turun 20,7 persen dari bulan sebelumnya. Secara kumulatif, impor Januari-Juni 2019 turun 7,63 persen dari periode yang sama tahun lalu menjadi US$82,26 miliar.

Tak ayal, pertumbuhan ekonomi ikut lesu. Meski terus bertambah, angka pertumbuhan ekonomi tidak beranjak dari posisi 5 persen. Pada kuartal I 2019 pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 5,07 persen, naik tipis dibanding kuartal I 2018 sebesar 5,06 persen.

Lihat juga:BI Akui Laju Ekonomi Indonesia Melambat
Raihan ini meleset dari target Bank Indonesia sebesar 5,2 persen maupun Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution yang meramalkan ekonomi tumbuh 5,1 persen.

Ekonom Universitas Indonesia (UI) Lana Soelastianingsih mengatakan fenomena tersebut harus segera disikapi pemerintah dengan serius. Pelemahan ekonomi global tersebut harus disikapi pemerintah dengan memaksimalkan komponen pertumbuhan ekonomi lain, yakni investasi, konsumsi, dan belanja pemerintah.

Pasalnya, ekspor sudah tidak bisa diharapkan lagi. Ia mengatakan dari tiga komponen penopang pertumbuhan tersebut, saat ini investasi yang punya peluang untuk digenjot.

Ia mengakui menggenjot investasi di tengah pelemahan ekonomi global bukan pekerjaan mudah. Terlebih lagi bila melihat perkembangan realisasi penanaman modal asing versi Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang kuartal I 2019 lalu hanya mencapai Rp107,9 triliun atau tumbuh negatif 0,9 persen dibanding kuartal I 2018 lalu.

Menurutnya tantangan tersebut bisa disiasati dengan menggenjot investasi domestik atau Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Potensinya investasi domestik meskipun secara nilai investasi lebih kecil daripada asing, masih bisa diharapkan.

Data BKPM menyebutkan di tengah perlambatan investasi asing, PMDN tumbuh 14,1 persen menjadi Rp76,4 triliun pada kuartal I kemarin. Investasi dalam negeri bisa digenjot sembari berusaha memperbaiki kinerja PMA.

“Menurut saya investasi ini bisa kita andalkan untuk sedikit menutup kekurangan dari ekspor. Harapannya investasi bisa meningkat untuk membantu konsumsi rumah tangga,” katanya kepada CNNIndonesia.com.

Lana mengatakan untuk menggenjot kinerja investasi tersebut pemerintah perlu melanjutkan upaya perbaikan iklim investasi yang sudah mereka lakukan melalui banyak kebijakan.

Kepala Departemen Ekonomi Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri mengatakan perbaikan iklim investasi tersebut bisa dilakukan dengan membawa Indonesia menjadi negara dengan perekonomian terbuka. Indonesia perlu menggabungkan diri atau berintegrasi secara penuh dengan perdagangan global.

Saran ini ia berikan karena Indonesia sampai saat ini masih belum maksimal dalam perdagangan global. Kondisi tersebut tercermin dari kontribusi perdagangan dan investasi terhadap ekonomi Indonesia.

Untuk perdagangan misalnya, hanya memberikan kontribusi sebesar 35 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Kontribusi tersebut kalah dari Vietnam yang sudah mencapai hampir 200 persen dari PDB.

Sementara itu untuk investasi asing, kontribusinya terhadap PDB baru 2 persen, lebih rendah daripada Vietnam yang sudah berhasil mencapai 6 persen, maupun Malaysia dan Thailand yang sebesar 4 persen.

“Jadi kita kurang membuka diri. Nah ini salah satu hal yang menyebabkan ekspor kita tidak lebih berkinerja dengan baik,” katanya.

Ia melanjutkan konteks perekonomian terbuka ini berkaitan erat dengan investasi. Vietnam, lanjutnya, sangat terbuka dengan investasi asing.

Segala kemudahan investasi diberikan oleh Vietnam baik dari sisi regulasi maupun insentif. Itulah alasan, perusahaan asal Korea Selatan, Samsung membatalkan rencana investasi di Indonesia pada 2014 silam dan lebih memilih Vietnam.

Vietnam juga memperbolehkan investor asing untuk mengimpor bahan baku pada masa awal investasi. Setelah skala produksi besar, para investor akhirnya membangun pabrik bahan baku di Vietnam. Tentunya, ini menguntungkan ekonomi Vietnam baik dari pertumbuhan ekspor maupun investasi.

Yose menekankan Indonesia harus mengembangkan konsep perekonomian terbuka itu. Sebab, mayoritas investasi yang datang berorientasi ekspor. “Kalau kita belum apa-apa meminta kepada produsen, hilirnya harus bangun dulu. Padahal industri hilirnya belum ada,” katanya.

Sementara itu berkaitan dengan konsumsi Wakil Ketua Kadin Bidang Hubungan Internasional Shinta Widjaja Kamdani mengatakan agar ekonomi tetap tumbuh pemerintah perlu membuat terobosan kebijakan. Salah satunya, menggenjot sektor pariwisata bagi kaum milenial.

Ia mengatakan saat ini kaum milenial mendominasi pasar dalam negeri dengan karakteristik daya beli dan konsumsi yang lebih besar dan menjanjikan dibanding generasi sebelumnya.

“Misalnya dengan menggenjot pengembangan sektor pariwisata untuk kelas budget traveller (perjalanan hemat) karena milenial cenderung memiliki pengeluaran besar untuk experience-based expenditures (pengeluaran berbasis pengalaman) seperti travelling,” ujarnya.

Untuk belanja pemerintah, Shinta mengatakan pemerintah perlu mengoptimalkan untuk keperluan produktif sehingga bisa menjadi pendorong ekonomi. Belanja produktif tersebut bisa dilakukan salah satunya dengan mengalokasikan belanja pemerintah untuk pembangunan infrastruktur.

“Perbaiki juga sistem administrasi pemerintah, percepatan perubahan kebijakan, dan sebagainya supaya semuanya efektif,” katanya.

Sumber : CNN Indonesia

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only