Perlu Komitmen Menjalankan Roadmap Pengendalian Rokok

Ghina Ghaliya Quddus, Adi Wikanto

Pemerintah tidak bisa frontal menerapkan tarif cukai rokok yang tinggi seperti negara tetangga. Industri rokok terlanjur berperan besar bagi perekonomian nasional karena menyumbang 1,2% terhadap PDB.

KENAIKAN tarif cukai hasil tembakau rata-rata sebesar 10% per tahun pada periode tahun 2016-2018 tidak menyurutkan prospek bisnis industri rokok. Penjualan perusahaan rokok tetap meningkat. Penerimaan cukai yang dihasilkan dari rokok juga terus naik.

Itulah sebabnya pemerintah hati-hati mengambil kebijakan terkait industri rokok, jika tidak mau penerimaannya terpangkas. Pada tahun 2013, persoalan tarif cukai pernah menjadi polemik. Pemerintah diprotes karena ingin menyesuaikan cukai rokok pada perusahaan rokok terafiliasi.

Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 78 tahun 2013 yang disahkan pada 11 April 2013 dan seharusnya mulai berlaku pada 12 Juni 2013. Maka, perusahaan yang terindikasi terafiliasi akan “naik kelas” ke golongan diatasnya dengan tarif cukai lebih tinggi.”Buruh rokok demo, PMK-nya juga digugat. Akhirnya diganti, direvisi,” kata Kepala Bidang Kepabeanan dan Cukai Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemkeu Nasruddin Djoko Surjono kepada KONTAN.

Hal ini pun tidak terjadi hanya sekali, tahun-tahun sebelumnya juga ada tekanan dari buruh, bahkan juga pengusaha rokok. “Surat ke Kemkeu bisa beberapa tumpukan kami terima, dari asosiasi serikat pekerja, semua. Capek sebenarnya,” terang Nasrudin.

Mesi kenaikan cukai rokok dilakukan dengan hati-hati, Nasrudin mengklaim, kebijakan cukai hasil tembakau sudah sesuai aturan yang ada. Terutama dari sisi kesehatan kenaikan tarif cukai telah memperhatikan kebijakan Kementerian Kesehatan dan roadmap dampak pengendalian konsumsi rokok bagi kesehatan. Hal itu tertuang dalam Permenkes 40/2013. Kebijakan tersebut menargetkan prevalensi perokok rata-rata menurun sebesar 1% per tahun hingga 2019.

Nah, kenaikan tarif cukai rokok rata-rata 10,04% pada tahun lalu ini turut menghitung pembatasan konsumsi. Kenaikan sekitar 10% efeknya ke konsumsi rokok bisa berkurang 1% hingga 3%.” Memang kebijakan cukai belum revolusioner. Masih evolusioner,”ujar Nasruddin.

Hitung-hitungannya, selain komponen pembatasan konsumsi, pemerintah juga memasukkan variable lain, yakni inflasi, pertumbuhan ekonomi, produksi dan penerimaan. Dengan kenaikan 10,04% ini,ia menyebut, akan ada imbas ke pertumbuhan ekonomi sekitar -0,05%, dengan asumsi adanya transmisi langsung ke pendapatan rumah tangga.

Kenaikan cukai rokok juga memberikan tambahan inflasi sebesar 0,3% yang tersebar dalam 12 bulan. Di samping itu, dari sisi penerimaan, kenaikan ini dapat membuat penerimaan cukai naik 7% hingga 9%.

Kini pemerintah juga sudah memiliki PMK 146/2017 yang mengatur roadmap struktur tarif cukai hasil tembakau. Dalam PMK itu, pemerintah bakal menyederhanakan struktur tarif cukai secara gradual yang dimulai tahun ini, yakni 12 menjadi 10 layer. Dan pada akhirnya di tahun 2021 menjadi lima layer.

Dalam PMK ini pemerintah juga ingin membuat pengenaan tarif cukai jenis sigaret kretek mesin (SKM) dan sigaret putih mesin (SPM) menjadi sama mulai tahun 2019. Menurut Nasrudin, prinsipnya hampir sama seperti PMK 78 tahun 2013 yang sempat ditolak dulu, yakni menyasar hubungan istimewa atau afiliasi.

Nasruddin memaparkan, saat ini masih ada perusahaan yang berada di golongan II. Padahal, perusahaannya multinasional dan berskala besar. Dengan tarif yang simple itu, diharapkan isu hubungan istimewa itu tak ada lagi. “Jadi, dia tidak bisa lagi ambil kategori ke bawah. Yang kami tantang, antara lain, perusahaan besar. Masa di level dunia dia berani berkompetisi, tetapi masuk di Indonesia golongan II,” jelas Nasruddin.

Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Ismanu Soemiran menegaskan, pengusaha rokok keberatan dengan road map pengendalian hasil tembakau 2018-2021. Kebijakan itu menyebabkan perusahaan rokok menanggung kenaikan beban cukai dua kali lipat dari biasanya. “ Kami harus menanggung kenaikan tarif dan membayar cukai lebih mahal karena penghapusan layer,” jelasnya.

Padahal, dengan kenaikan tarif cukai tiap tahun, perusahaan rokok terus tertekan. Jumlah industri rokok berkurang karena kenaikan cukai setiap tahun. “Dulu ada 5000 pabrik rokok, kini tinggal 600. Pabrik rokok lama kelamaan akan mati, bukan karena persaingan usaha tapi akibat kebijakan pemerintah,” klaim Ismanu.

Kebijakan itu hanya menguntungkan perusahaan rokok besar. Pabrik rokok kecil lama kelamaan akan tutup, namun belum tentu menurunkan konsumsi rokok. Sebab semakin tinggi tarif cukai, rokok illegal tambah banyak. Penelitian UGM menemukan rokok illegal pada 2010-2016 mencapai 12,14%.

Namun, apapun alasannya pemerintah wajib melindungi generasi penerus bangsa dari bahaya rokok. Pemerintah harus menjalankan komitmen pengendalian rokok.

 

Sumber : Kontan Kamis, 19 Juli 2018

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only