Bu Menkeu, Ini 3 Skenario Bila Pajak Korporasi Dipangkas 2021

Jakarta, – Rencana penurunan pajak korporasi, atau secara formal bernama Pajak Penghasilan (PPh) Badan hingga menjadi 22% dan 20% dari saat ini 25% secara bertahap mulai tahun depan, tentu dapat berdampak positif bagi iklim usaha di dalam negeri.

Pada 2021-2022, PPh Badan akan turun menjadi 22% yang akan dilanjutkan dengan penurunan menjadi 20% pada 2023.

Rencana tersebut merupakan salah satu poin penting di dalam Omnibus Law, aturan pamungkas ‘sapu jagat’ pemerintah yang akan menyederhanakan aturan dan perundangan lain.

Namun, tentu tidak dapat dipungkiri bahwa rencana penurunan pajak akan berdampak pada defisit fiskal pemerintah yang akan melebar mengingat ada potensi pajak yang dipungut pemerintah akan berkurang.

Memang secara jangka panjang diharapkan turunnya pendapatan pajak pemerintah dalam 3 tahun ke depan akan segera tertutup oleh membaiknya kinerja bisnis dan perusahaan di dalam negeri setelahnya dan akhirnya laba bersih akan naik kencang dan menutup kekurangan tadi. Penghitungan sederhananya, dampak positif dari potongan pajak ke kinerja perusahaan baru akan berefek dalam 5 tahun.

Namun, dalam jangka pendek, tentu akan ada dampak yang harus dihadapi pemerintah dan pelaku pasar.

Salah satu hal yang dikhawatirkan adalah skenario pertama yaitu lepas defisit. Artinya defisit akan melebar dan dibiarkan jika belanja pemerintah tidak ditahan ketika pendapatan dari pajak berkurang.

Dengan demikian, tentu angka pamungkas defisit yaitu 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) bisa jadi tidak lagi menjadi batas krusial.

Namun, apa berani defisit melebar hingga di atas 3%?

Sanksi pasarnya tentu sangat besar. Yang paling sederhana adalah dari ekspektasi profil kredit yang memburuk dan dapat berujung pada penurunan rating utang akibat defisit yang melebar. Rating utang Indonesia saat ini berada pada BBB atau setara Baa2, sudah masuk kelas layak investasi (investment grade) bagi investor global sejak 2011.

Apalagi, saat ini Indonesia sedang dipandang sebagai salah satu negara dengan defisit fiskal sekitar 2% yang ternyata mumpuni, ketika negara se-tipe seperti India bisa sampai sekitar 4%, Brasil 7%, Vietnam 4%, bahkan China 4%.

Tentu, kredibilitas sebagai negara dengan defisit yang tipis akan sangat disayangkan harus lepas dari negeri tercinta ketika rem defisit dilepaskan.

Lain halnya dengan skenario kedua, yaitu menjaga defisit dengan menurunkan belanja pemerintah. Mungkin terdengar mudah, tetapi dampaknya akan luar biasa menghancurkan terutama karena titik lemah ekonomi selama ini adalah kualitas belanja dan kualitas penyerapan anggaran yang bisa dibilang masih buruk.

Contoh sederhana dari lemahnya penyerapan anggaran meskipun mimpi memiliki anggaran berkualitas dan mumpuni adalah pengembangan fisik dan manusia.

Penyerapan anggaran yang lemah di sisi infrastruktur dapat dicerminkan dari Logistic Performance Index (LPI) padahal 5 tahun periode pertama Joko Widodo, Sri Mulyani, dan menteri-menterinya menyasar infrastruktur sebagai tulang punggung.

Dari sisi pengembangan manusia, lemahnya kualitas penyerapan anggaran dapat dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM, Human Development Index), padahal anggaran pendidikan sangat mewah, yaitu mencapai 20% setiap kali APBN dirancang sejak pasal 31 UUD’45 diamandemen.

Data Bank Dunia menunjukkan LPI Indonesia berada pada peringkat ke-51, kalah dari negara tetangga Singapura di posisi ke-5, Thailand di posisi ke-34, Malaysia di posisi ke-35, dan Vietnam ke-45.

Dari negara Asean lain, posisi Indonesia masih sedikit lebih baik daripada Filipina yang berada di urutan ke-64 dan Brunei Darussalam di posisi ke-73. Peringkat itu didasari data agregat (gabungan) dari periode 2012, 2014, 2016, dan 2018.

Posisi Indonesia tersebut masih belum beranjak jauh dari rentang peringkat pada periode 2007-2018, yaitu pada 2007 berada pada posisi 43, 2010 pada urutan 75, 2012 pada 59, 2014 pada 53, 2016 pada 63, dan 2018 pada 46.

Angka itu pun mengindikasikan kualitas logistik yang tidak lepas dari pengembangan infrastruktur yang ternyata masih belum cukup tepat sasaran, padahal program infrastruktur digadang-gadang menjadi program utama dalam masa kerja pemerintahan Joko Widodo periode pertama.

Indikator lain adalah IPM 2018 yang menempatkan Indonesia hanya di posisi 111, di mana posisi tersebut hanya menang dari Vietnam di posisi 118, di antara seluruh tetangga sekawasan.

Jika belanja itu dapat dilihat masih buruk, maka langkah memangkas belanja tentu akan berdampak luas, utamanya adalah pada roda ekonomi dan akhirnya pada pertumbuhan ekonomi yang masih bikin deg-degan seperti sekarang ini. Apalagi di tengah kekhawatiran melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia, ditambah bayang-bayang perang dagang dan terakhir virus corona Wuhan.

Skenario ketiga yaitu berusaha menjaga defisit di bawah batas pamungkas 3%, dengan cara penerbitan obligasi.

Skenario itu adalah pemerintah dapat menutup lubang pendapatan dari penurunan pajak dengan pendapatan lain, utamanya dengan meningkatkan utang, atau secara sederhana adalah menambah penerbitan surat utang baru.

Tentu hal ini dapat membuat pasar worry terhadap bertambahnya supply baru surat utang negara (SUN) di pasar yang di atas ekspektasi, di mana yang terdampak pada kelebihan barang (over supply) di pasar dan memantik tekanan jual dan berdampak pada penurunan harganya di pasar sekunder.

Saat ini, SUN seri acuan 10 tahun memiliki yield di pasar sekunder sebesar 6,64%, sudah turun 43 basis poin dari 7,07% yaitu posisi akhir 2019. Padahal, posisi itu adalah rentang prediksi pelaku pasar untuk yield tahun ini di kisaran 6,5%-6,6%, sehingga posisinya sudah cukup tinggi.

Turunnya yield obligasi berarti ada kenaikan harga di pasar karena pergerakan harga dan yield obligasi saling bertolak belakang di pasar sekunder, sehingga ketika harga naik maka akan menekan yield turun, begitupun sebaliknya. 

Yield 
yang menjadi acuan keuntungan yang didapat investor juga lebih umum dijadikan acuan transaksi obligasi dibanding harga karena mencerminkan kupon, tenor, dan risiko dalam satu angka.

SUN adalah surat berharga negara (SBN) konvensional rupiah yang perdagangannya paling ramai di pasar domestik, sehingga dapat mencerminkan kondisi pasar obligasi secara umum. Keempat seri yang menjadi acuan pasar adalah FR0081 bertenor 5 tahun, FR0082 bertenor 10 tahun, FR0080 bertenor 15 tahun, dan FR0083 bertenor 20 tahun.

Apalagi, saat ini pemerintah terkenal tertib dan sukses menjaga tingkat rasio utang terhadap GDP yang berada pada 30%, tepatnya 28,7% pada 2017 dan 29,8% pada 2018.

Posisi Indonesia di 2017 itu masih lebih rendah daripada negara lain yaitu Thailand 41,8%, Australia 41,9%, Filipina 42,1%, China 47,6%, Malaysia 50,9%, Vietnam 61,5%, India 68,7%, Amerika Serikat 105,4%, Singapura 110,6%, dan yang tertinggi adalah Jepang 253%.

Namun, predikat positif dari rasio utang-GDP itu harus dibarengi dengan dilematis sebagai negara dengan SUN yang dikuasai investor asing dalam jumlah besar yaitu di kisaran 40%, termasuk tinggi di antara negara berkembang lain seperti Rusia, India, China, atau negara Asean lain.

Guncangan yang bisa terjadi ketika angka penerbitan obligasi akan didongkrak tahun depan jika pajak resmi diturunkan tentunya akan berpengaruh pada angka keramat kedua, yaitu rasio utang-GDP tadi yang bukan mustahil dapat melebihi 30%.

Belum lagi jika investor asing yang sedang banyak-banyaknya di pasar SUN, sempat mencapai Rp 1.092 triliun (39,26%) pada 24 Januari, terpecut untuk keluar dulu dan melakukan aksi jual, tentu akan mengambarkan pasar obligasi negara minimal dalam jangka pendek.

Memang menjadi pisau bermata dua, karena tingginya investor asing di pasar SUN merupakan kebanggaan tersendiri karena investor asing masih menilai Indonesia menarik sehingga agresif masuk, tetapi di sisi lain adalah ketergantungan yang tidak terhindarkan ketika sentimen berubah arah.

Sebagai kesimpulan, dapat dilihat bahwa apapun skenario yang ditempuh, tampaknya yang masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah dan pelaku ekonomi adalah mengkonsolidasi manajemen keuangan, salah satu yang krusial adalah memperbaiki kualitas belanja.

Utamanya dari kualitas belanja tentu adalah serapan belanja yang saat ini masih minim harus digenjot, harus ditemukan akar masalah di daerah yang sering disalahkan sebagai titik lemah penyerapan anggaran. Kalau perlu, gunakan juga Omnibus Law untuk meratakan halangan yang ada sekalian meningkatkan kualitas penyerapan anggaran negara kita tercinta.

Sumber: cnbcindonesia.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only