Pengawasan Jangan Belepotan

Suka atau tidak, kita semua sedang megap-megap terseret efek virus pandemi korona (covid-19) nan membahayakan. Dalam helaan napas yang megap-megap, kita semua juga harus menjawab pertanyaan krusial: mana yang lebih penting, menghidupkan ekonomi atau kesehatan?

Perdebatan tentang ini pasti panjang. Pemerintah nampaknya sudah membuat keputusan, mulai menjalankan ekonomi dengan protokol kesehatan superketat untuk mencegah penyebaran virus korona.

Maka, sejumlah beleid baru bermunculan belakangan dari segala penjuru. Mulai dari Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), hingga Kementerian/Lembaga. Inti banyak beleid tersebut adalah memulihkan ekonomi lagi, setelah tiga bulan lebih menggigil ‘sakit’ dalam Pembatasan Sosial Berskala Besar.

Pemerintah, lewat bendahara negara yakni Menteri Keuangan telah merancang biaya lewat program pemulihan ekonomi nasional alias PEN. Sampai dengan 5 Juni, alokasi anggaran pemulihan ekonomi sebesar Rp 677,2 triliun, Nilai ini sudah naik dari alokasi sebelumnya di angka Rp 450 triliunan.

Untuk restrukturasi kredit saja, pemerintah akan menggelontorkan bantuan subsidi bunga dan kredit modal kerja UMKM nilainya Rp 123,46 triliun. Nilainya bisa bertambah seiring dengan kenaikan kredit yang direstrukturisasi perbankan, baik bank nasional, bank syariah, bank daerah sampai ke perusahaan pembiayaan.

Anggaran Kesehatan juga jumbo yakni Rp 87,55 triliun. Dana jaring pengaman sosial sebesar Rp 203,9 triliun. Insentif pajak dunia usaha dengan nilai stimulus Rp 120,46 triliun. Insentif untuk BUMN dan swasta, nilainya Rp 44,57 triliun. Terakhir anggaran Rp 97,11 triliun untuk kementerian/lembaga dan bantuan kepada pemerintah daerah.

Banyak pihak meminta pemerintah berhati-hati dan melakukan pengawasan superketat. Pemberian subsidi bunga pada dasarnya harus menyasar para debitur lancar, tapi terpukul oleh wabah. Mereka harusnya mampu menghidupkan lagi bisnisnya dengan subsidi bunga dan pemberian modal kerja. Jika ini berjalan lancar akan menggerakan ekonomi.

Hanya ini butuh pengawasan superketat oleh OJK. Bukan mustahil ini akan menjadi peluang debitur nakal memanfaatkan relaksasi. Apalagi, dalam bertemalian. Program subsidi bunga erat dengan bantuan likuiditas bank lewat penempatan dana negara di perbankan untuk likuiditas.

Pengawasan superketat juga wajib dilakukan atas dana kesehatan. Penanganan pasien Covid-19 rawan dengan penyelewengan, mengingat biaya per pasien dalam perawatan 14 hari di atas Rp 100 juta per orang. Belum lagi dana ke pemerintah daerah, semuanya butuh pengawasan superketat sejak mulai dana-dana ini mengalir.

Pengawasan yang belepotan acap baru terungkap pasca kejadian. Tak kurang bukti kasus karena lemahnya pengawasan. Bantuan likuiditas Bank Indonesia saat krisis 1997/1988 yang berujung bailout Bank Century, salah sasaran bansos, dana tsunami, dan banyak lagi bisa menjadi bukti pengawasan yang lemah.

Mengandalkan niat baik, atau himbauan tidaklah cukup. Selain harus tercipta sistem pengawasan yang benar, butuh juga pengawasan lapangan, meski jelas ini tak mudah. Selain itu, harus ada saksi ketat jika kelak terbukti benar-benar menyalahgunakan dana dalam program pemulihan ekonomi.

Percayalah, kalau semua urusan berjalan dengan pengawasan yang belepotan maka makin babak belur kita untuk memulihkan ekonomi. Mumpung belum kejadian, tingkatkan pengawasan agar tak menyesal dan menyesakan rasa keadilan kemudian.

Sumber: Tabloid Kontan

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only