Petiklah Pajak Digital walau Trump Sebal

Pemerintah Keukeuh menerapkan pajak digital awal Agutus mendatang. Tahap pertama menjaring PPN. Kapan PPh juga diterapkan?

Sepucuk surat dari Perwakilan Dagang Amerika Serikat atau United States Trade Respresentative (USTR) mendarat di meja kerja Manteri Keuangan Sri Mulyani, awal bulan ini.

Surat tersebut memberitahukan dimulainya investigasi formal yang dilakukan Negeri Uwak Sam, menyusul rencana Pemerintah Indonesia mengenakan pajak terhadap perusahaan-perusahaan teknologi raksasa asal negaranya.

Nah, pemerintah Amerika melakukan investigasi untuk membuktikan kekhawatiran tersebut. Investigasi ini disebut-sebut merupakan pintu masuk bagi Trump untuk menerapkan tarif balasan, sehingga berpotensi menyulut ketegangan perdagangan.

“Kami siap mengambil semua tindakan untuk terhadap segala diskriminasi semacam itu,” kata Perwakilan USTR Robert Lighthizer.

Tampaknya ini bukan sekadar gertak sambal. Akhir tahun lalu, AS nyaris saja memberlakukan tarif baru hingga 100% untuk produk impor asal Prancis. Langkah itu merespon penerapan pajak digital 3% di negara yang dipimpin Emmanuel Macron ini. Belakangan Prancis juga ngeper dan menunda sementara rencana penerapan pajak digital tersebut.

Ke depan, perlawanan AS ini tampaknya bakal semakin sengit. Soalnya bukan hanya Prancis dan Indonsia, tapi ada delapan negara lainnya yang juga berencana mengenakan pajak digital, seperti Austria, Brasil, Republik Ceko, Uni Eropa, India, Spanyol, Turki, dan Inggris. Kini semuanya masuk radar investigasi Trump.

AS patut khawatir karena negara yang baru dilanda konflik rasial ini menjadi rumah bagi raksasa teknologi digital, seperti Google, Amazon, Apple, Netflix, Facebook, dan sebagainya.

Perusahaan digital dengan valuasi miliaran dollar AS tersebut sudah mengambil manfaat ekonomi dari berbagai negara melalui transaksi perdagangannya.

Bahkan, perusahaan digital AS ini telah menguasai dua pertiga dari total nilai pasar global. Sedangkan menurut Global Stats, Facebook menggenggam 72% pasar media sosial.

Pemerintah Amerika tak terima dengan PPh, sementara yang akan kita kenakan adalah PPN.

Tentu potensi bisnis membesar seiring masifnya perkembangan era digitalisasi. Meski perusahaan digital itu telah meraup untung besar dari aktivitas bisnisnya di banyak negara, toh mereka selama ini bebas pajak lantaran belum ada payung hukum yang mengatur pajak digital.

Tak heran, bila pajak digital ini bikin pusing banyak negara. Mereka terus bersiasat mencari cara demi bisa memajaki perusahaan digital itu, terutama raksasa digital asal AS yang jejaring bisnis dan layanannya telah merambah dunia.

Nah, ditengah maraknya aksi uniteral pajak digital tersebut, belakangan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) mulai memfasilitasi pembahasan masalah ini secara insentif.

Disepakati juga hasil pembahasan OECD akan menjadi konsensus global pajak atas ekonomi digital. Dan, ditargetkan konsensus tersebut tercapai akhir tahun ini.

Namun, banyak negara tak sabar menunggu hasil konsensus tersebut. Tak terkecuali Indonesia. “Indonesia tidak bisa menunggu konsensus global karena kebutuhan pendanaan pembangunan,” kata Menkeu.

Maklumlah, penerimaan pajak di masa pandemi ini tekor berat, sehingga pajak digital diharapkan bisa menambah penerimaan negara.

Sebagai gambaran, realisasi penerimaan pajak hingga 31 Mei 2020 hanya Rp 444,6 triliun, turun 10,8% dibanding dengan periode sama tahun lalu.

Padahal, pemerintah sedang butuh dana besar buat menutup kekurangan anggaran dalam penanggulangan wabah korona. Dalam hitungan sementara, defisit anggaran bakal menembus Rp 1.390 triliun.

Inilah yang mendasari pemerintah menerapkan pajak digital dalam waktu dekat. Kendati mendapat protes keras dari Trump, toh pemerintah menyikapinya dengan tenang dan santai. Pemerintah hakul yakin protes AS akan mereda sehingga rencana penerapan pajak digital bisa berjalan mulus.

Optimisme itu didasarkan pada subtansi keberatan pihak AS, seperti tertera dalam surat USTR yang dialamatkan ke kantor Menkeu belum lama ini.

“Surat USTR itu mempermasalahkan PPh (Pajak Penghasilan), sementara yang dikenakan dalam waktu dekat ini adalah pajak pertambahan nilai (PPN),” kata Menkeu Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

Lantaran yang dikenakan PPN, maka perusahaan digital asal AS tidak akan dirugikan, karena beban pajaknya ditanggung konsumen atau pengguna layanan digital tersebut.

Adapun aturannya tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 48/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Penunjukkan Pemungut, Pengumutan, dan Penyetoran, serta Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak Luar Daerah Pabean di dalam Jumlah Pabean Melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).

Beleid ini juga merupakan aturan turunan Perpu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Covid-19.

Dalam Beleid anyar ini pemerintah menetapkan PPN 10% dari nilai yang dibayar oleh konsumen. Aturan tersebut menyasar produk digital seperti layanan streaming musik dan film, aplikasi dan permainan digital, serta jasa daring lainnya dari luar negeri.

Yakin luput dari kemarahan AS, pemerintah optimistis pemungutan PPN atas produk digital bisa diberlakukan dalam waktu dekat. Paling cepat aturan tersebut sudah bisa diterapkan pada awal Agustus mendatang.

“Diaturannya, sih 1 Juli. Karena butuh persiapan kemungkinan mundur ke awal Agustus. Kami masih menyusun aturan teknis,” ujar Direktur Jenderal Pajak, Suryo Utomo.

Ia menyatakan, saat ini jajarannya masih melakukan diskusi dengan para penyelenggara PMSE di luar negeri mengenai kesiapan mereka memungut dan menyetor PPN atas transaksi perdagangannya.

Pemerintah sendiri menargetkan pundi-pundi tambahan dari pungutan PPN pada platform niaga digital sebesar Rp 10 triliun. Target tersebut diambil dari perkiraan transaksi produk barang dan jasa digital yang senilai Rp 100 triliunan.

Pajak Penghasilan

Tidak berhenti di PPN, kedepan pemerintah juga berencana memungut PPh badan atas penyelenggara jasa digital. Soal PPh digital ini juga diatur dalam Pasal 6 Perppu Nomor 1 Tahun 2020.

Berbeda dengan PPN, pemerintah nampaknya lebih berhati-hati menerapkan PPh digital. Terbukti, pemerintah tidak berani mengambil langkah sepihak atas rencana penerapan PPh digital ini, seperti halnya PPN. “Kami masih menunggu konsensus OECD,” ungkap Yustinus Prastowo, Staf Khusus Menkeu.

Lewat perundingan OECD, Indonesia bersama negara lainnya sedang mencari solusi bersama atas perpajakan ekonomi digital (multilateral measure). Konsensus ditargetkan rampung akhir tahun ini.

Namun, perundingan di OECD ini bakal alot, sehingga kemungkinan, besar bakal mundur dari target. Yang jelas, ujar Yustinus, pemerintah akan mencari kesepakatan yang win-win berapa pajak yang fair. Begitu juga dengan model pemungutan dan basis penghitungannya.

“Jangan sampai kebijakan kita malah memancing retalisasi dengan negara asal platform digital,” tuturnya.

OECD sendiri telah merilis konsep pemajakan bisnis digital yang terpadu. Dalam konsep tersebut, OECD memperkenalkan dua pendekatan.

Pertama, pengenalan metode baru dalam pemajakan digital yang tak lagi bergantung pada kehadiran fisik, tetapi lebih kepada besaran nilai penjualan atau pendapatan perusahaan digital.

Dengan pendekatan ini, dapat dipastikan semua yurisdiksi mendapatkan jatah pembayaran pajak dari para raksasa digital sepanjang nilai penjualannya memenuhi batasan (threshold) yang disepakati.

Kedua, menghitung besaran alokasi penghasilan perusahaan digital ke tiap yurisdiksi. Pendekatan yang dilakukan berupa penggabungan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha dan penggunaan formula tertentu yang akan disepekati kemudian.

“Saat ini OECD masih meminta masukan dari berbagai pihak, baik otoritas pajak maupun komunitas internasional untuk menyempurnakan konsep tersebut,” beber Yustinus.

Bisa jadi konsesus nantinya mengkombinasikan dua pendekatan itu, yakni pendekatan atas income dan pendekatan atas transaksi.

Yustinus mengklaim, para pelaku bisnis digital khususnya yang berasal dari AS bersedia menjalankan kebijakan pemungutan PPN dari setiap transaksi yang dilakukan di Indonesia.

Pemerintah juga rajin melakukan komunikasi dengan perusahaan digital tersebut. Namun, untuk PPh belum ada pembicaraan karena rencana penerapannya juga masih belum jelas.

“Untuk PPN tinggal masalah teknis sedikit saja yang masih jadi bahan diskusi,” ujarnya.

Juru Bicara Google Indonesia Jason Tedjasukmana mengatakan, perusahaannya siap mengikuti aturan pemerintah Indonesia. “Kami mematuhi ketentuan pajak di semua negara tempat kami beroperasi,” ujarnya.

Senada dengan Google, layanan video streaming asal Hongkong, Viu, juga mengaku siap menjalankan aturan baru tersebut. Namun demikian, perusahaan tetap berkomitmen menyediakan layanan dengan tarif kompetitif di Tanah Air.

Tentu keduanya akan menagihkan PPN tersebut ke konsumen.

Sumber: Tabloid Kontan

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only