Sri Mulyani Usul 19 RUU Jadi Prioritas DPR pada 2020-2024

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengusulkan 19 Rancangan Undang-Undang (RUU) di bidang tugas Kementerian Keuangan untuk ditetapkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Jangka Menengah 2020-2024. Mulai dari omnibus law di bidang perpajakan hingga cukai. 

Usulan 19 RUU itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 77/PMK.01/2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan 2020-2024. Beleid tersebut berlaku sejak tanggal diundangkan pada 29 Juni 2020 lalu.

Pertama, RUU Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian alias omnibus law bidang perpajakan. Ia mengatakan RUU ini memiliki urgensi untuk meningkatkan iklim usaha yang kondusif dan atraktif bagi investor. 

Selain itu, untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia, meningkatkan kepastian hukum, dan mendorong minat Warga Negara Asing (WNA) untuk bekerja di Indonesia. Hal ini dapat mendorong alih keahlian dan pengetahuan bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia.

“Urgensi pembentukan untuk mendorong kepatuhan sukarela Wajib Pajak dan menciptakan keadilan berusaha antara pelaku usaha dalam negeri dan pelaku usaha luar negeri,” kata Ani, sapaan akrabnya, dalam beleid tersebut, dikutip Selasa (7/7). 

Kedua, RUU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan. Aturan ini untuk mendukung penyesuaian aturan di sektor jasa keuangan agar sejalan dengan perkembangan global dan domestik. 

“Urgensi pembentukan merevisi perundang-undangan sektor keuangan yang bersifat sektoral dan kelembagaan secara komprehensif pada waktu yang bersamaan agar tidak ada kebutuhan, isu strategis, dan kepentingan yang tertinggal,” katanya. 

Ketiga, RUU Pengelolaan Kekayaan Negara. Tujuannya, untuk memberi kepastian hukum, penguatan data fiskal kekayaan negara, penyempurnaan sistem, mengoptimalkan penerimaan pusat dan daerah, meningkatkan PNBP, hingga menyelamatkan keuangan negara yang tertunggak pada debitur dalam waktu relatif singkat. Rencananya, ketiga usulan RUU ini akan diajukan secara omnibus law atau penyatuan.

Keempat, RUU Bea Meterai. Aturan ini untuk meningkatkan penerimaan negara sesuai landasan hukum atas mekanisme pemungutan bea meterai. 

Harapannya, aturan ini bisa meningkatkan kepatuhan bea meterai dan perluasan basis data yang dapat dimanfaatkan guna kepentingan analisis dan komparasi data dengan jenis pajak yang lain. Secara tidak langsung, data itu dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan penerimaan pajak lainnya.

Kelima, RUU Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (RUU HKPD). Tujuannya, meningkatkan perekonomian, pemerataan keuangan, dan kesejahteraan serta meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan APBD. 

Keenam, RUU Pelaporan Keuangan. Aturan ini diharapkan bisa meningkatkan potensi penerimaan perpajakan dari sisi pelaporan yang baik dan memberi perlindungan jaminan hukum yang memadai. 

Ketujuh, RUU Pasar Modal yang dibentuk untuk meningkatkan perekonomian nasional dari kegiatan dan volume penjualan atau pembelian di pasar modal. Kedelapan, RUU Penjaminan Polis untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap industri asuransi hingga menjaga stabilisasi sistem keuangan Tanah Air. 

Kesembilan, RUU Bank Indonesia. RUU ini memiliki urgensi mendukung pertumbuhan perekonomian nasional, sehingga meningkatkan penerimaan APBN dan kesejahteraan masyarakat melalui kebijakan moneter, makroprudensial, hingga sistem pembayaran. 

“Urgensi pembentukan mendorong investasi melalui penambahan kewenangan BI terkait pengaturan makroprudensial,” jelasnya. 

Ke-10, RUU Perbankan untuk mengoptimalkan peran bank hingga mewujudkan kemandirian finansial masyarakat. Ke-11 RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). 

“Urgensi pembentukan menciptakan kepatuhan perpajakan sebagai kelanjutan dari kebijakan pasca tax amnesty (pengampunan pajak) guna meningkatkan penerimaan negara dari sektor perpajakan melalui penerapan prinsip pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan,” terang dia.

Ke-12 RUU Dana Pensiun untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan pendalaman pasar keuangan yang berpotensi mengurangi beban APBN dalam hal pemberian perlindungan kepada masyarakat, khususnya mereka yang berusia lanjut.

Ke-13, RUU Pajak Penghasilan (PPh) untuk meningkatkan penerimaan pajak, memperluas basis data dan kepatuhan pajak, serta perpajakan atas transaksi di lintas yurisdiksi yang lebih sederhana, adil, dan berkepastian hukum.

Ke-14 RUU Pajak atas Barang dan Jasa untuk meningkatkan kepatuhan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di Indonesia. Lalu, meningkatkan basis data dan perluasan pengenaan pajak konsumsi melalui penataan ulang perlakuan pajak atas barang dan jasa yang lebih membatasi pemberian fasilitas dan pengaturan ulang batasan pengusaha kena pajak.

Ke-15 RUU Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), sehingga ada aturan yang bisa meningkatkan penerimaan negara di sektor PBB, baik melalui peningkatan basis data, fleksibilitas tarif, hingga transformasi sistem sehingga penerimaan bisa lebih awal tanpa menunggu ketetapan dari fiskus.

Ke-16 RUU Lembaga Pembiayaan Pembangunan Indonesia yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan pembiayaan bidang-bidang tertentu dalam rangka memenuhi kebutuhan pembiayaan yang besar, berjangka panjang, imbal hasil rendah, dan risiko minim. 

Ke-17 RUU Perubahan Harga Rupiah alias Redenominasi. Aturan ini diharapkan bisa meningkatkan efisiensi waktu, transaksi, hingga efisiensi pencantuman harga barang atau jasa karena jumlah digit rupiah yang lebih sedikit. 

“Urgensi pembentukan untuk menyederhanakan sistem transaksi, akuntansi dan pelaporan APBN karena tidak banyaknya jumlah digit rupiah,” ungkapnya. 

Ke-18 RUU Kepabeanan. Aturan ini bertujuan untuk meningkatkan devisa negara melalui peningkatan investasi, serta ekspor dengan memberikan fasilitas kepabeanan yang semakin mendukung dunia bisnis.

Kemudian, juga untuk melindungi usaha mikro kecil menengah, revitalisasi, simplifikasi, dan modernisasi mekanisme di bidang ekspor, hingga penguatan pengawasan. Terakhir, RUU Cukai, tujuannya agar aturan cukai lebih dinamis, sehingga memberi penerimaan yang optimal kepada negara. 

“Sanksi administrasi lebih diutamakan daripada sanksi pidana dengan penerapan azas ultimum remedium, rekonstruksi konsep penerapan earmarking cukai,” pungkasnya. 

Sumber : cnnindonesia.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only