BPK Kritik Skema Gross Split Migas

 Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengkritik skema kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC) gross split di sektor hulu migas. Lembaga audit negara tersebut menilai skema ini tidak memberikan dampak signifikan bagi iklim investasi migas di Tanah Air.

  Kepala BPK Agung Firman Sampurna menganggap penyusunan skema tersebut cenderung tergesa-gesa sehingga muncul beberapa kali revisi untuk menyempurnakan aturan tersebut.

  Hal ini terlihat dari dasar Permen ESDM tentang kontrak bagi hasil gross split yang telah direvisi sebanyak tiga kali. Pertama melalui Permen ESDM Nomor 8 Tahun 2017 yang mengatur soal tambahan split melalui diskresi Menteri maksimum lima persen.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?

Namun Permen tersebut tidak lantas membuat investor senang. Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) menganggap aturan ini tidak menguntungkan dan tidak menarik, sebab setelah dihitung jatah bagi hasil dari KKKS menjadi lebih kecil. Akhirnya terbitlah kembali aturan yang mengatur soal tambahan split melalui diskresi Menteri yang tidak terbatas melalui Permen Nomor 52 Tahun 2017.

  Namun lagi-lagi Kementerian ESDM merilis Peraturan Menteri Nomor 12 Tahun 2020 terkait kontrak bagi hasil migas. Dalam aturan tersebut pemerintah memberikan keluasaan pada KKKS untuk bisa memilih skema kontrak gross split atau cost recovery.

  Pada dasarnya penerapan gross split bertujuan untuk merampingkan birokrasi cost recovery. Padahal dalam praktiknya tidak hanya tentang pemangkasan birokrasi yang menjadi masalah tata kelola migas selama ini. Menurut Agung yang terlupakan dari perumusan skema ini adalah cadangan migas di Indonesia tidak sebesar di Venezuela dan Arab Saudi, sehingga perlu banyak penyesuaian di tengah jalan.

  “Ini sebuah gambaran ada satu titik ketergesa-gesaan saat kebijakan ini dibuat,” kata Agung dalam Fami Group Discussion virtual, Senin, 2 November 2020.

  Selain itu, dalam skema gross split pengawasan negara terhadap suatu proyek hulu migas juga akan berkurang. Berbeda dengan skema cost recovery yang masih melibatkan pemerintah dalam penetapan anggaran.

  Ia bilang indikasi praktik transfer pricing dalam kontrak migas dengan perusahaan afiliasi juga berpotensi terjadi. Hal ini membuat penerimaan negara dari pajak juga berpotensi tergerus.

  “Jadi berlapis, hasil penerimaan negara bahkan bisa berkurang, dan di sektor perpajakan juga pengurangan,” jelas Agung.

Sumber : medcom.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only