Cermati Pengumuman Suku Bunga Acuan

Jakarta – Pasar keuangan Indonesia mencatatkan penguatan tipis pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sama-sama menguat sangat terbatas.

Kemarin, IHSG ditutup naik 0,05%. IHSG tidak mampu mencetak prestasi seperti indeks saham Asia lainnya yang menguat lebih tajam. Nikkei 225 menguat 0,37%, Shanghai Composite meoket 4,09%, Hang Seng lompat 2,32%, Kospi naik 0,25%, dan Straits Times bertambah 0,51%.

Sentimen positif dari China menjadi pendorong bursa saham Benua Kuning. Pemerintah China berencana memotong tarif pajak pada tahun depan, langkah untuk mendorong kinerja perekonomian domestik. Nilai pemotongan tarif pajak ini diperkirakan mencapai 1% dari Produk Domestik Bruto (PDB) China.

Sebagai catatan, PDB nominal China pada akhir 2018 diperkirakan sebesar US$ 13,2 triliiun (Rp 200.595 triliun). Satu persen dari angka itu adalah US$ 132 miliar (Rp 2.005 triliun). Wow.

Ma Jun, Penasihat Bank Sentral China (PBoC) menyatakan stimulus pajak ini akan berdampak lebih besar ketimbang yang dilakukan AS. Pada akhir 2017, Presiden AS Donald Trump memberlakukan pemotongan tarif Pajak Penghasilan (PPh) bagi orang pribadi dan badan usaha. Hasilnya sangat impresif, membuat perekonomian Negeri Paman Sam semakin kuat sehingga memaksa The Federal Reserve/The Fed menaikkan suku bunga acuan tiga kali sejak awal tahun.

Sentimen ini sukses menjadi pendorong laju bursa Shanghai dan Hong Kong, yang kemudian menular ke bursa saham Asia lainnya. Termasuk IHSG, meski hanya berakhir dengan penguatan tipis.

Kinerja keuangan BMRI yang tak juga direspons positif membuat bursa saham dalam negeri tak bisa menguat terlalu banyak. Pada perdagangan kemarin, harga saham BMRI ditutup flat di Rp 6.450.

Sepanjang kuartal-III 2018, bank pimpinan Kartika Wirjoatmodjo ini membukukan pendapatan bunga bersih/Net Interest Income (NII) sebesar Rp 13,9 triliun, mengalahkan konsensus yang dihimpun Refinitiv yaitu Rp 13,6 triliun. Sementara itu, laba bersih tercatat sebesar Rp 5,9 triliun, di atas estimasi Rp 5,3 triliun.

Ada kemungkinan, kenaikan harga saham BMRI yang sangat pesat tahun lalu membuat valuasinya berada di level yang relatif tinggi sehingga walaupun kinerja keuangannya positif, sahamnya tak menjadi buruan investor. Sepanjang tahun lalu, harga saham BMRI sudah meroket 38,2%.

Sementara rupiah ditutup menguat 0,03% di hadapan dolar AS. Selain rupiah, hanya dolar Hong Kong dan rupee India yang mampu menguat. Mata uang lainnya tersapu gelombang penguatan dolar AS.

Investor belum bisa jauh-jauh berpisah dari dolar AS. Sebab, awan hitam masih bergelayut di atas perekonomian global.

Jajak pendapat yang dilakukan Reuters terhadap lebih dari 500 ekonom menyatakan aura pesimisme kini semakin nyata. Dari 44 negara yang dicakup dalam survei, perlambatan ekonomi diperkirakan terjadi di 18 negara. Sementara proyeksi untuk 23 negara lainnya tidak berubah dan hanya tiga negara yang diramal mengalami perbaikan ekonomi.

Kondisi ini cukup jauh dibandingkan survei serupa pada awal tahun di mana 70% negara yang disurvei diperkirakan mengalami perbaikan ekonomi. Risiko utama yang membayangi perekonomian dunia adalah perang dagang AS vs China. Kedua adalah keketatan likuiditas global dan ketiga adalah kenaikan suku bunga acuan di Negeri Paman Sam.

Berbagai risiko itu membuat pelaku pasar masih enggan mengambil risiko di instrumen berisiko di negara berkembang. Rupiah masih bisa menguat karena masih ada aliran dana di pasar obligasi negara. Maklum, harga instrumen ini sudah ‘terbanting’ sehingga masih menarik minat investor.

Sumber: cnbcindonesia.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only