Menggugat Rencana PPN Sembako

Reformasi perpajakan terus bergulir di Tanah Air. Dari sekian banyak usulan yang termaktub dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), wacana perubahan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) tampaknya paling banyak mengundang polemik.

Tarif normal PPN akan dinaikkan dari yang berlaku saat ini 10 % menjadi 12%. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 memang mengizinkan tarif PPN berada di interval antara 5% sampai 15%. Dengan landasan ini, pemerintah juga akan mengatur kebijakan PPN multitarif.

Kontroversi muncul tatkala tarif batas bawah PPN 5% akan dipungut pada sembako. Komoditas kebutuhan pokok yang diatur Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 terdiri dari beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, daging segar yang tanpa diolah, telur, susu, buah serta sayuran.

Di satu sisi, pemerintah telah banyak menganggarkan bantuan sosial lewat subsidi upah dan bantuan langsung tunai agar masyarakat pada saat pandemi Covid-19 tetap bisa memenuhi kebutuhan pokoknya. Di sisi lain dan di saat yang bersamaan, pemerintah malah hendak memungut PPN terhadap bahan kebutuhan pokok tadi.

Alhasil, sense of crisis pemerintah dipertanyakan. Pemerintah terkesan tidak ikhlas dengan bantuan sosial yang sudah disalurkan. Lagi pula, timing wacana pengenaan PPN atas bahan kebutuhan pokok pada saat pandemi Covid-19 belum diketahui kapan akan berakhir terasa sangat tidak bijak.

Betul bahwa pembahasan PPN atas bahan kebutuhan pokok pada tahun ini tidak secara otomatis pada tahun ini pula akan dieksekusi. Kalaupun pemungutan PPN atas bahan kebutuhan pokok direalisasikan pada tahun depan, atau saat masa pagebluk sudah mereda, persoalannya tidak selesai sampai di situ.

Secara konseptual, PPN sudah dari sono-nya menyisakan sehimpun problema. PPN didasarkan pada aktivitas konsumsi. Semua lapisan masyarakat (termasuk golongan menengah-atas) mengonsumsi bahan kebutuhan pokok. Artinya, PPN sebagai instrumen fiskal tidak mampu membedakan kualifikasi pembelinya.

Belum lagi soal status PPN sebagai pajak tidak langsung. Pembayar PPN bukan penanggung PPN lantaran dia bisa menggeserkan beban PPN-nya kepada pihak lain. Konsekuensinya, PPN memiliki efek sebaran beban akhir pajak (tax burden) yang kemudian berujung pada isu keadilan pajak.

Lebih lanjut, pengenaan PPN berbasis pada harga jual produk. PPN bisa dipungut di setiap titik rantai pasok. Hal ini berbeda dengan pajak penjualan (sales tax) yang menyasar pada pengguna akhir (end user). Alhasil, PPN mampu menekan penghindaran pajak sehingga meningkatkan penerimaan pemerintah.

Dengan alasan ini pula, banyak negara beralih dari pajak penjualan menuju ke PPN. Studi IMF (2016) menyimpulkan suatu negara yang beralih dari pajak penjualan ke PPN pada awalnya terkena dampak negatif berupa penurunan penerimaan pajak meskipun potensi penerimaan pajak di masa mendatang lebih besar.

Tesis di atas agaknya mendekati kenyataan. Kinerja PPN Indonesia (sejak diintroduksikan mulai 1984) termasuk rendah untuk kawasan ASEAN. Kinerja PPN Indonesia pada 2018 berada di level 63,58%. Angka ini juga masih di bawah Afrika Selatan 70,24 persen dan Argentina yang mencapai 83,71 persen.

Sementara penerimaan PPN pada umumnya sudah dominan di negara berpendapatan menengah dan tinggi. Kontras di Indonesia, penerimaan perpajakan justru didominasi oleh PPh Badan. Kontribusi PPh Badan terutama industri non migas mencapai 46,1%, sedangkan kontribusi PPN pada tahun lalu 35%. Opsi pajak konsumsi (consumption tax)

membuka peluang mengerek kinerja penerimaan PPN. Pajak konsumsi adalah pajak atas pembelian barang atau jasa. Pajak konsumsi dapat berupa pajak penjualan, tarif, cukai, dan pajak lainnya atas barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat luas.

Pajak konsumsi juga dapat merujuk pada sistem perpajakan secara keseluruhan. Artinya, subjek pajak akan dikenai pungutan didasarkan pada berapa banyak yang mereka konsumsi. Dengan pemahaman ini, pungutan pajak atas bahan kebutuhan pokok, hasil pertanian, dan produk pertambangan agaknya terjustifikasi.

Ide pajak konsumsi sejatinya sudah ada dalam Rencana Strategis Kementerian Keuangan 2020-2024. Akan tetapi, realisasi ide pajak konsumsi sebagai pengganti konsep PPN tergulung oleh kenaikan tarif PPN. Pajak konsumsi akan efektif mengerek penerimaan negara jika ditempuh tanpa perubahan tarif PPN.

Opsi pajak konsumsi, sayangnya, tetap saja berdampak negatif khususnya pada kelompok masyarakat bawah. Ekstensifikasi objek PPN niscaya menjelma menjadi pajak regresif yang menekan masyarakat berpenghasilan rendah mengingat porsi pendapatannya lebih banyak untuk memenuhi konsumsi kebutuhan pokok.

Alhasil, konsumsi dan pendapatan adalah dua sisi mata uang. Oleh karenanya, langkah penyeimbang dari sisi pendapatan perlu dilakukan. Pajak semestinya dikenakan atas dasar apa yang mereka sumbangkan (melalui pendapatan) daripada melulu atas dasar apa yang mereka serap dari sumber daya yang terbatas (lewat konsumsi).

Dua skenario

Dengan alur logika ini, dua skenario bisa dibangun untuk meningkatkan kinerja PPN. Pertama, pemerintah memangkas tarif PPh tidak hanya PPh Badan tetapi juga PPh Orang Pribadi. Tarif PPh Badan sudah lebih dulu dipangkas tahun lalu dari 25% menjadi 22% dan akan diturunkan lagi menjadi 20% pada tahun depan.

Sementara, PPh Orang Pribadi, alih-alih dipangkas. justru malah akan ditambah jumlah layer-nya. Artinya, tenaga beli konsumen untuk berkonsumsi barang/jasa yang terkena kenaikan tarif PPN juga turun. Imbasnya, dampak neto kenaikan tarif PPN pada peningkatan penerimaan negara akan nihil.

Skenario kedua, jika pemerintah tidak memangkas tarif PPh Orang Pribadi dan tetap menaikkan tarif PPN, integrasi keduanya menjadi keharusan. Disain multitarif PPN seharusnya juga mengenal PTKP (pendapatan tidak kena pajak) seperti pada PPh. Konsep PTKP dalam PPN layak diberikan pada bahan kebutuhan pokok.

Pada akhirnya, strategi tax counterbalancing parsial semacam ini lazim dilakukan pada saat perekonomian tengah berada pada fase resesi. Intinya, tujuan pemerintah terakomodasi, beban produsen tereduksi, dan kepentingan konsumen juga terlindungi. Jika berbarengan begini, adil bukan?

Sumber: Harian Kontan, Kamis 17 Juni 2021 hal 15

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only