Pajak Sembako Hanya Untuk Daging dan Beras Premium

Jakarta: Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo menegaskan bahwa komoditas bahan pokok tidak dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN) kecuali daging sapi premium dan beras premium. Hal ini karena harga jenis komoditas itu terpaut sangat jauh dibandingkan dengan yang biasa dikonsumsi masyarakat.

“Barang-barang ini masuk ke sistem PPN supaya teradministrasikan, apakah nanti akan dikenai atau tidak dikenai pajak itu diskusi berikutnya. Prinsipnya kita ingin supaya semua barang dan jasa tercatat dalam sistem PPN,” kata Yustinus dalam diskusi daring Dampak RUU PPN terhadap Industri Strategis Nasional di Jakarta, Kamis, 1 Juli 2021.

Yustinus menjelaskan komoditas bahan pokok hanya masuk ke dalam sistem perpajakan agar dapat terpantau secara administratif mulai dari hulu ke hilir.

Dalam Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) terdapat skema multitarif yang memungkinkan pengenaan PPN mulai dari nol persen hingga 25 persen tergantung dari jenis barang dan jasanya.

Secara umum, pemerintah menginginkan keadilan bagi masyarakat di mana barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak bisa dibebaskan atau hanya dikenakan PPN rendah, sementara barang dan jasa premium yang hanya bisa dinikmati oleh masyarakat ekonomi atas dikenakan pajak yang lebih tinggi.

Dia pun memastikan dari 11 bahan kebutuhan pokok yang terdapat dalam RUU KUP kemungkinan hanya beras dan daging sapi premium yang akan dikenakan PPN. Yustinus mengemukakan pengenaan PPN pada beras dan daging sapi premium dikarenakan disparitas harga dari komoditas tersebut yang terpaut sangat jauh dibandingkan pada harga beras dan daging sapi standar yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat kebanyakan.

“Kalau telur, susu segar, umbi-umbian, sayur, buah kami rasa masih sama. Tapi daging terutama daging sapi itu yang jauh sekali. Kalau daging ayam, bebek dan lain-lain tidak ada persoalan, itu masih konsumsi masyarakat umum,” terangnya.

Yustinus menekankan bahwa kebijakan yang dirancang dalam RUU KUP ini pun tidak akan diterapkan dalam waktu dekat mengingat kondisi ekonomi Indonesia dalam masa pemulihan di saat pandemi masih berlangsung. Dia menyebut pemerintah saat ini berfokus pada penyiapan landasan hukumnya untuk diterapkan di kemudian hari pada saat kondisi yang tepat.

“Pemerintah tidak ingin ini sekarang, tidak. Tapi saat inilah kita punya waktu membuat payung kebijakan, landasan hukum. Penerapannya nanti bisa kita diskusikan dan kita akan perhitungkan pemulihan ekonomi pascapandemi. Tidak mungkin diterapkan dalam waktu dekat,” pungkas dia.

Sumber: medcom.id, Kamis 1 Juli 2021

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only