RI Tak Akan Biarkan Negara Lain Paksakan Pajak Karbon Komoditas

JAKARTA, KOMPAS – Indonesia berkomitmen mendukung dan menerapkan kebijakan zero emission atau bebas emisi karbon. Namun dalam konteks pajak karbon atau pajak-pajak lain yang sejenis, Indonesia tidak akan membiarkan negara-negara lain memaksakan kebijakan tersebut tanpa mempertimbangkan serapan karbon negara-negara yang memiliki hutan tropis, mangrove, gambut, dan terumbu karang.

Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi, Kamis (23/9/2021), mengatakan, sesuai dengan amanat Perjanjian Paris, Indonesia akan mengurangi emisi karbon atau gas rumah kaca. Merujuk pada Nationally Determined Contribution (NDC), Indonesia akan mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen dengan pendanaan mandiri dan 41 persen dengan bantuan internasional pada 2030.

Indonesia juga memiliki program transisi energi dari berbasis fosil menjadi energi baru terbarukan (EBT) yang ditargetkan bisa mencapai 23 persen dalam konteks bauran energi nasional pada 2025. Selain itu, Indonesia juga berkomitmen untuk menjaga hutan tropis, mangrove, dan terumbu karang untuk menopang serapan karbon nasional dan dunia.

“Dengan komitmen-komitmen itu, Indonesia tidak akan menerima begitu saja penerapan pajak karbon atau pajak-pajak lain sejenis yang akan digulirkan sejumlah negara. Indonesia tidak hanya memproduksi karbon, tetapi juga telah menyerap karbon. Hal ini harus dipertimbangkan juga oleh negara-negara tersebut,” kata Lutfi ketika dihubungi dari Jakarta.

Indonesia tidak akan menerima begitu saja penerapan pajak karbon atau pajak-pajak lain sejenis yang akan digulirkan sejumlah negara.

Komisi Uni Eropa mengadopsi proposal Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) atau pengenaan pajak bea masuk karbon terhadap sejumlah produk yang mengandung karbon secara bertahap mulai 2023. Pada tahap awal, CBAM akan diterapkan untuk sejumlah produk, seperti semen, besi baja, aluminium, pupuk, dan elektronik.

Lutfi mencontohkan, Indonesia telah meminta Uni Eropa (UE) untuk tidak memungut pajak karbon sebagai tambahan biaya impor. Jika UE melakukan hal itu, Indonesia akan mengajukan gugatan sengketa perdagangan ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). UE juga harus mempertimbangkan upaya Indonesia yang juga telah menyerap karbon.

Pada 14 Juli 2021, Komisi UE mengadopsi proposal Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) atau pengenaan pajak bea masuk karbon terhadap sejumlah produk yang mengandung karbon secara bertahap mulai 2023. Pada tahap awal, CBAM akan diterapkan untuk sejumlah produk, seperti semen, besi baja, aluminium, pupuk, dan elektronik. CBAM ini akan sepenuhnya diterapkan pada 2026 dengan memperluas produk-produk yang mengandung karbon.

Indonesia telah meminta Uni Eropa (UE) untuk tidak memungut pajak karbon sebagai tambahan biaya impor. Jika UE melakukan hal itu, Indonesia akan mengajukan gugatan sengketa perdagangan ke WTO.

Tak hanya UE, sejumlah negara lain juga tengah menyiapkan dan mematangkan penerapan kebijakan bebas emisi karbon. Jika tidak diantisipasi sejak sekarang, kebijakan itu akan berimbas pada investasi dan sejumlah komoditas ekspor unggulan RI.

China misalnya. Sejak tahun lalu, Pemerintah China di bawah pimpinan Xi Jinping menargetkan China bebas emisi karbon pada 2060. Komitmen tersebut kembali dinyatakan Xi Jinping dalam pidato di sidang Majelis Umum ke-76 Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), Selasa (21/9/2021) siang waktu New York melalui rekaman video.

Beberapa cara yang ditempuh China antara lain menghentikan pembangunan pembangkit listrik tenaga uap di dalam negeri maupun di luar negeri dan investasi penambangan batubara di luar negeri. China juga akan mengurangi penggunaan batubara di dalam negeri secara bertahap dengan menggantinya dengan pembangkit listrik bertenaga energi baru terbarukan, serta membangun properti ramah lingkungan.

UE juga masih berkomitmen tinggi untuk menerapkan Kebijakan Energi Terbarukan (RED) II dengan mengeliminasi minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan produk turunannya dari daftar sumber energi terbarukan. UE menganggap CPO menyebabkan deforestasi.

Sementara Rusia dan Uni Ekonomi Eurasia (EAEU), juga memiliki kebijakan yang kurang lebih sama. Rusia akan mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (value added taxes/VAT) untuk CPO dan produk turunanannya sebesar 20 persen, tetapi meringankan VAT bagi minyak nabati lainnya.

Adapun EAEU memiliki regulasi baru Unified EAEU Veterinary and Sanitary Requirements. Salah satunya mengatur pembatasan kandungan kontaminan (substansi yang menjadi sesuatu tidak murni atau bersih) minimal minyak nabati, yaitu 3-monochlorpro-pandiol (3-MCPD) esters dan glycidol esters (GE) sebesar 1 ppm.

Langkah antisipasi

Head of Industry and Regional Research PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Dendi Ramdani, Kamis, mengatakan, proses penerapan kebijakan bebas emisi karbon dan kebijakan-kebijakan lain dalam rangka mengantisipasi perubahan iklim memang masih lama. Namun, Indonesia harus bersiap sejak sekarang untuk mengantisipasinya lantaran akan berimbas ke sejumlah komoditas ekspor unggulan Indonesia.

Tak hanya CPO dan batubara, kebijakan tersebut juga akan berimbas pada komoditas-komoditas yang mengandung karbon atau dalam proses produksinya turut menyumbangkan emisi karbon tinggi. Banyak produk-produk ekspor Indonesia yang proses produksinya menggunakan listrik bertenaga uap atau berbahan bakar batubara.

“Produk-produk itu antara lain seperti semen, pupuk, tekstil, besi baja, nikel, aluminium, tembaga, dan elektronik,” kata dia.

World Resources Institute menyebutkan, ada empat sektor penyumbang emisi karbon tertinggi, yaitu sektor energi, transportasi, manufaktur dan konstruksi. Sektor energi, terutama dari pembangkit panas dan listrik, menyumbang karbon sebesar 31,9 persen dari total emisi gas rumah kaca dunia. Kemudian diikuti oleh transportasi (14,2 persen), serta manufaktur dan konstruksi (12,6 persen).

Sektor lain yang menghasilkan emisi adalah pertanian, terutama peternakan dan budidaya tanaman (12 persen), industri bahan kimia seperti pupuk dan semen (5,9 persen), dan pengolahan limbah (3,3 persen). Selain itu ada juga penggunaan lahan yang mencakup antara lain perubahan penggunaan lahan dan hutan yang menyebabkan deforestasi (2,8 persen).

Oleh karena itu, lanjut Dendi, pemerintah perlu mengantisipasi kebijakan-kebijakan pro perubahan iklim itu dengan mereformasi sektor-sektor yang bakal terimbas. Di sisi lain, pemerintah tetap perlu memperjuangkan kepentingan nasional untuk melindungi hambatan-hambatan perdagangan dan pengenaan pajak karbon atas produk-produk ekspor Indonesia.

Indonesia masih memiliki hutan tropis yang luas dan terumbu karang yang banyak tersebar di sejumlah parairan di Indonesia yang berfungsi untuk menyerap emisi karbon. Hal ini bisa menjadi dasar bagi Indonesia untuk bernegosiasi mengatasi hambatan-hambatan tersebut.

“Pemerintah perlu menghitung emisi karbon yang diproduksi dan diserap di Indonesia, sehingga dalam pengenaan pajak karbon atau pajak-pajak lain yang sejenis bisa berdasarkan net karbon yang dihasilkan,” kata dia.

Pemerintah perlu menghitung emisi karbon yang diproduksi dan diserap di Indonesia, sehingga dalam pengenaan pajak karbon atau pajak-pajak lain yang sejenis bisa berdasarkan net karbon yang dihasilkan.

Menanggapi hal itu, Lutfi mengatakan, Indonesia juga akan memperjuangkan kebijakan voluntary carbon market (pasar karbon sukarela) dalam pembahasan Pasal 6 Perjanjian Paris yang akan dibahas negara-negara anggota G20 di Glasgow, Skotlandia, pada 2 November 2021. Kendati berat dan akan banyak negara yang menentang memasukkan poin itu dalam kesepakatan yang akan ditandatangani para pemimpin negara-negara G20, Indonesia akan berupaya untuk menelurkan persetujuan lain.

“Setidaknya Indonesia akan berjuang bersama dengan negara-negara yang masih memiliki hutan yang cukup luas di Afrika, seperti Kongo dan Rwanda untuk mengegolkan voluntary carbon market. Brasil yang sebenarnya juga memiliki hutan tropis yang luas, kemungkinan kecil akan turut mendukung,” ujarnya.

Jika voluntary carbon market tersebut disetujui, lanjut Lutfi, Indonesia akan menyambut baik penerapan pajak karbon. Para eksportir komoditas Indonesia juga akan diuntungkan dengan kebijakan itu. Cukup dengan membeli carbon offset, produk ekspor mereka sudah dapat dinyatakan memenuhi syarat nol karbon.

Voluntary carbon market merupakan wadah perusahaan-perusahaan yang telah membuat komitmen nol karbon dengan membeli carbon offset dalam negeri melalui bursa karbon. Carbon offset merupakan bukti terdokumentasi bahwa karbon telah ditangkap dari atmosfer dengan sejumlah cara, seperti melalui pengelolaan hutan tropis, mangrove, dan gambut yang dapat menangkap karbon.

Berdasarkan data Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Indonesia memiliki hutan hujan tropis ketiga terbesar di dunia seluas 125,9 juta hektar yang mampu menyerap emisi karbon sebanyak 25,18 miliar ton.

Indonesia juga memiliki hutan mangrove seluas 3,31 juta hektar dan gambut 7,5 juta hektar yang mampu menyerap emisi karbon masing-masing 33 miliar ton dan 55 miliar ton. Total emisi karbon yang mampu diserap Indonesia kurang lebih sebesar 113,18 gigaton.

Sumber: ortax.org (Harian Kompas), Jumat 24 September 2021

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only