Rupiah Menguat Berkat Penyusutan Defisit APBN

Jakarta: Kurs rupiah pada perdagangan hari ini menguat tipis imbas respons positif para pelaku pasar terhadap penyusutan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada September 2021.

Adapun realisasi defisit APBN hingga 30 September 2021 sebesar Rp452 triliun atau setara 2,74 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), turun dari Rp681,4 triliun atau 33,7 persen PDB pada periode yang sama tahun lalu.

“Dalam perdagangan sore ini, rupiah menguat lima poin walaupun sebelumnya sempat melemah 20 poin di level Rp14.152 per USD dari penutupan sebelumnya di level Rp14.158 per USD,” ucap Direktur PT TRFX Garuda Berjangka Ibrahim Assuaibi dikutip dari siaran persnya, Selasa, 26 Oktober 2021.

Secara rinci, realisasi defisit APBN tersebut disebabkan oleh belanja negara pada September 2021 yang mengalami penurunan sebesar 1,9 persen year on year (yoy) menjadi Rp1.806,8 triliun atau 65,7 persen dari pagu APBN. Belanja pemerintah pusat mencapai Rp1.265,3 triliun dengan KL sebesar Rp734 triliun dan non KL sebesar Rp531 triliun.
 
Selanjutnya ada Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) sebesar Rp541,5 triliun atau turun 14 persen. Realisasi TKDD mengalami kontraksi 14,0 persen karena pemerintah daerah masih memiliki sisa lebih pembiayaan anggaran (Silpa) yang belum dibelanjakan.
 
Di sisi lain, penerimaan negara mencapai Rp1.353,8 triliun atau tumbuh 16,8 persen (yoy). Realisasi pendapatan berasal dari penerimaan pajak senilai Rp850,1 triliun, bea cukai Rp182,9 triliun, dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp320,8 triliun.
 
Secara bersamaan pemerintah memproyeksi target pertumbuhan ekonomi kuartal III-2021 mencapai 4,3 persen. Proyeksi ini membaik dari minus 3,5 persen pada kuartal III-2020. Optimisme membaiknya pertumbuhan ekonomi kuartal ketiga ditopang oleh sejumlah indikator yang membaik setelah dihantam varian delta covid-19.

“Namun, pemerintah meminta seluruh pihak untuk mewaspadai risiko dari dinamika global yang terjadi utamanya di Tiongkok, Amerika Serikat (AS), dan Eropa, karena rebalancing dari berbagai kegiatan ekonomi yang dapat mempengaruhi outlook di kuartal IV-2021 dan di tahun depan,” jelas Ibrahim.
 
Dari faktor eksternal, Ibrahim memandang penguatan dolar AS terjadi karena laporan di Tiongkok yang menunjukkan bahwa pemerintah mengalihkan fokusnya dari regulasi yang lebih ketat di sektor-sektor yang menjadi perhatiannya dan ke arah menopang pertumbuhan.
 
“Kekhawatiran meningkat di Tiongkok, kekurangan listrik dapat menyebabkan penghentian produksi dan kekurangan produk di rantai pasokan, yang dapat mempengaruhi pertumbuhan,” urainya.
 
Dilaporkan pula bahwa garis besar strategi pemerintah untuk menghadapi 10 tantangan paling mendesak bagi perekonomian Tiongkok. Laporan tersebut memberikan petunjuk tentang arah kebijakan yang dapat diambil oleh para pemimpin negara itu selama serangkaian pertemuan selama beberapa minggu ke depan.
 
Menurutnya, prioritas baru kemungkinan akan meningkatkan konsumsi swasta dan investasi, setelah pertumbuhan melambat menjadi 4,9 persen selama kuartal ketiga tahun ini. “Konsumsi dan investasi adalah ‘dua mesin’ untuk mencapai permintaan domestik yang lebih besar,” tutur dia.
 
Selain itu, investor juga menunggu keputusan kebijakan dari pertemuan Bank of Japan dan Bank Sentral Eropa (ECB). Tak satupun dari bank sentral yang akan mengumumkan perubahan kebijakan, meskipun ECB mungkin membahas bagaimana tekanan inflasi dapat mempengaruhi kebijakan.
 
Federal Reserve AS dan Bank of England juga akan bertemu pekan depan. Namun, penentu suku bunga Bank of England Silvana Tenreyro mengatakan dia membutuhkan lebih banyak waktu untuk menilai bagaimana akhir dari skema cuti penghematan pekerjaan pemerintah.
 
“Hal tersebut dapat memengaruhi pasar tenaga kerja, yang merupakan sinyal bahwa dia melihat tidak ada urgensi untuk menaikkan suku bunga,” pungkas Ibrahim.
 

Sumber : www.medcom.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only