Presidensi G20 Dorong Arah Perpajakan Berkeadilan

Jakarta: Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu menyatakan Presidensi G20 pada tahun depan yang digelar di Indonesia akan menjadi penetu arah penciptaan pajak global yang adil.

Hal ini terjadi karena akan ada penandatanganan suatu konvensi multilateral terkait Two-Pillar Solution to Address the Tax Challenges Arising from the Digitalisation of the Economy atau Solusi Dua Pilar Pajak Digital.

“Kepemimpinan Indonesia dalam forum G20 pada 2022 menjadi sangat krusial agar target tersebut dapat direalisasikan tepat waktu,” katanya, Senin, 1 November 2021.

Pilar 1 dan Pilar 2 akan dituangkan dalam suatu konvensi multilateral ini rencananya akan mulai ditandatangani pada pertengahan 2022 dan berlaku efektif pada 2023.

Sejauh ini, terdapat peningkatan jumlah negara anggota OECD/G20 Inclusive Framework on Base Erosion and Profit Shifting yang telah menyetujuinya yaitu 136 negara dari yang sebelumnya 132 negara anggota.

Pilar 1 mengenai reformasi sistem perpajakan internasional yang adil dilakukan dengan pengalokasian hak pemajakan secara adil ke negara yang cenderung menjadi pasar produk barang dan jasa digital mencakup perusahaan multinasional atau multinational enterprise (MNE) dengan peredaran bruto 20 miliar euro dan tingkat keuntungan di atas 10 persen.

Keuntungan MNE itu akan dibagikan kepada negara pasar jika MNE tersebut memperoleh setidaknya satu juta euro atau 250 ribu euro untuk negara pasar dengan PDB lebih kecil dari 40 miliar euro dari negara pasar tersebut.

Salah satu perkembangan dari kesepakatan G20/BEPS Juli 2021 adalah pengalokasian 25 persen keuntungan MNE ke negara pasar berdasarkan porsi penjualannya di masing-masing negara pasar tersebut.

Menurut Febrio, dengan alokasi 25 persen maka sistem perpajakan menjadi lebih adil karena tidak ada alokasi pajak untuk negara pasar tanpa adanya Bentuk Usaha Tetap (BUT). “Padahal sebagian besar MNE yang menjual barangnya di Indonesia bukan merupakan BUT melainkan hanya kantor perwakilan saja sehingga tidak bisa dipajaki,” jelasnya.

Sementara Pilar 2 adalah pemastian semua MNE membayar pajak minimum di semua tempat MNE tersebut beroperasi. Pilar 2 mengenakan tarif pajak minimum pada MNE yang memiliki peredaran bruto tahunan sebesar 750 juta euro atau lebih sehingga tidak ada lagi persaingan tarif tidak sehat di antara negara-negara.

Pilar 2 yang dikenal dengan sebutan Global anti-Base Erosion (GLoBE) rules akan memastikan MNE dikenakan tarif pajak minimum sebesar 15 persen. Selain itu, Pilar 2 turut melindungi hak negara-negara berkembang untuk mengenakan pajak atas penghasilan tertentu seperti bunga dan royalti menjadi minimal sebesar sembilan persen.

Pilar 2 memiliki dua makna bagi Indonesia yaitu bisa meningkatkan penerimaan pajak yang semula terhambat praktik penghindaran pajak dengan pemberlakuan tarif yang rendah. Namun di saat yang sama, dengan adanya tarif pajak minimum maka Indonesia juga akan meninjau ulang rezim fasilitas pajak yang diberikan kepada MNE.

“Sebab kalau mengenakan tarif pajak lebih rendah dari tarif minimum tadi maka negara lain akan mengenakan pajak tambahan hingga mencapai tarif minimum,” kata Febrio.

Berdasarkan kajian ekonomi yang dilakukan OECD, terdapat tambahan Pajak Penghasilan hingga empat persen atau sekitar USD150 miliar per tahun dengan pengenaan pajak minimum melalui Pilar 2.

Selain itu, terdapat tambahan sebesar USD125 miliar setiap tahunnya yang dapat dialokasikan ke negara pasar termasuk Indonesia melalui implementasi Pilar 1. Kemudian juga terdapat perkembangan terbaru untuk menghapus Pajak Jasa Digital atau Digital Services Tax (DST) yang diterapkan oleh beberapa negara sebagai langkah sementara.

“Perkembangan di tingkat multilateral ini termasuk salah satu amanah besar yang harus dieksekusi dalam Presidensi Indonesia di G20 pada 2022 nanti,” tegasnya

Sumber : Medcom.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only