Turunkan Kemiskinan, Ekonom Minta Pengendalian Inflasi Diperkuat

JAKARTA — Pengendalian laju inflasi menjadi persoalan serius sekaligus tantangan terbesar dalam menekan angka kemiskinan pada 2022. Pasalnya, sejumlah harga bahan pokok diprediksi mengalami kenaikan. Di sisi lain, ada kemungkinan meningkatnya biaya bahan bakar serta kenaikan pajak yang menjadi tambahan beban masyarakat.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, mengatakan, penurunan angka kemiskinan yang tercatat per September 2021 belum dapat dinilai turun. Pasalnya, penurunan tersebut masih tetap lebih tinggi dari kondisi sebelum pandemi.

Tercatat, angka kemiskinan pada September 2021 sebanyak 26,5 juta orang, turun 1,04 juta orang dari Maret 2021. Namun, pada September 2019 lalu, jumlah masyarakat miskin sudah sempat menyentuh 24,7 juta orang.

“Perkejaan rumah terbesarnya ada tiga. Pengendalian inflasi, serapan tenaga kerja, dan efektivitas bantuan sosial. Inflasi adalah masalah serius yang membuat pengentasan kemiskinan belum seperti pra pandemi,” ujar Bhima kepada Republika.co.id, Selasa (18/1/2022).

Bhima mengatakan, kenaikan harga bahan pangan membuat daya beli kelompok rentan miskin mudah merosot ke bawah garis kemiskinan.

Di saat harga-harga pangan akan mengalami kenaikan, pemerintah justru menurunkan sejumlah bantuan sosial di tahun ini. Bhima mengatakan, semestinya program ansos tidak dicabut secara buru-buru disaat inflasi masih menjadi ancaman.

Adapun terkait penyerapan tenaga kerja dan bantuan sosial, Bhima menilai perlu adanya formulasi khusus untuk penciptaan lapangan kerja khususnya di wilayah yang pemulihannya tertinggal.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad, mengatakan, angka inflasi di tahun ini memang diproyeksi akan cukup tinggi bahkan tembus di atas 3 persen. Banyak penyebab yang memicu kenaikan, yakni kenaikan harga-harga pangan.

Tauhid juga menyoroti rencana migrasi bahan bakar dari Premium ke Pertalite yang dampaknya sedikit banyak mempengaruhi biaya transportasi masyarakat.

Selain itu, kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 11 persen akan menambah beban konsumen. “Pada akhirnya mendorong inflasi tetap tinggi, apalagi kita tahu ada faktor eksternal terutama untuk harga komoditas di 2022 belum normal,” kata dia.

“Tren pergerakan perubahan angka kemiskinan itu paling tinggi 0,4 persen. Jadi agak berat untuk menargetkan kemiskinan bisa di bawah sembilan persen,” ujarnya.

Di tengah tantangan tersebut, Indef memproyeksikan angka kemiskinan masih terbuka peluang untuk turun ke level 9,3 persen. Proyeksi itu masih di atas dari target pemerintah 8,5 persen-9 persen. Tauhid mengatakan, sangat berat upaya yang dibutuhkan dalam menurunkan angka kemiskinan 2022 di tengah banyak tantangan saat ini.

sumber : liputan6.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only