Bumi RI Dikeruk Tapi Dolarnya Dibawa ke LN, Mau Sampai Kapan?

Pemerintah dinilai harus bergerak cepat untuk menerbitkan revisi aturan devisa hasil ekspor (DHE). Jangan sampai pelaku usaha terus mengeruk perut bumi, tapi dolarnya malah dibawa lari ke luar negeri.

Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) pun menyadari itu sejak Desember 2022 silam. Cadangan devisa Indonesia sempat turun tujuh bulan berturut-turut, di tengah lonjakan ekspor.

Padahal nilai ekspor mencapai rekor tertinggi pada 2022. Pun, Indonesia juga mencatatkan surplus neraca perdagangan 30 bulan berturut-turut. Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada akhirnya gusar juga.

Sehingga menginstruksikan kepada jajaran di bawahnya untuk membentuk instrumen agar DHE dari para eksportir bisa tertahan lebih lama di dalam negeri.

Demi menahan devisa hasil ekspor lebih lama di dalam negeri, Kementerian Keuangan dan BI menjajaki insentif moneter, juga fiskal.

Aturan lalu lintas DHE selama ini diatur lewat Peraturan Pemerintah No 1 tahun 2019. Pada aturan itu mewajibkan DHE direpatriasi ke dalam negeri dan disimpan di rekening khusus.

Selama ini juga sudah ada sistem yang memantau arus DHE dengan menggunakan dokumen bea cukai, namun tak ada mekanisme untuk menahan dana itu tetap di dalam negeri.

Oleh karena itu, pemerintah telah mengumumkan akan segera merevisi PP 1/2019 tentang DHE tersebut. Sehingga ada kewajiban para eksportir untuk bisa menahan lebih lama pasokan dolarnya di dalam negeri, minimal tiga bulan.

Pemerintah berjanji, akan menyelesaikan revisi aturan devisa hasil ekspor (DHE) pada bulan Februari 2023. Namun, hingga kini belum ada tanda-tanda aturan itu telah selesai dibahas.

Kepala Ekonom BCA David Sumual menjelaskan, aturan DHE memang harus diatur dan dipikirkan secara masak-masak. Jangan sampai ketika aturan ini berjalan, ada persoalan di kemudian hari.

“Entah itu dari persoalan legalitasnya, kajian ekonominya, dampaknya. Dan saya pikir, salah satu itu adalah perlu ada pembedaan (antar sektor industri),” jelas David kepada CNBC Indonesia, Minggu (12/2/2023).

Mengingat pemerintah akan memperluas sektor kewajiban penyimpanan DHE di dalam negeri untuk sektor manufaktur. Sehingga, upaya memulangkan DHE harus diupayakan jangan sampai mengganggu iklim berusaha dan kinerja ekspor.

Bagaimana antar sektor memiliki waktu kapan mereka harus pesan barang bahan baku yang harus diimpor, kapan juga harus mengimpor barang antaranya, hingga kapan mereka akan melakukan ekspor hasil barang akhir mereka.

Sementara para eksportir biasanya memiliki waktu 3-6 bulan untuk mendapatkan DHE dari negara tujuan yang sudah mengimpor barangnya.

“Karena nanti kalau tanpa dasar pertimbangan, dari sisi analisis dan studinya kan jadi persoalan juga. Saya pikir, mereka juga harus minta masukan dari para pelaku usaha,” tutur David.

Hal tersebut, kata David yang mungkin pemerintah dan otoritas perlu pertimbangkan. Mereka harus memerlukan kajian menyeluruh mengenai aturan DHE.

Dari kacamata David, revisi PP 1/2019 juga tidak cukup. Pemerintah juga harus menyamakan aturan induknya, yakni Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang penerapan rezim devisa bebas.

Di satu sisi Undang-Undang Dasar 1945 secara tegas mengatur kekayaan alam Indonesia dikuasai oleh negara. Seperti yang tertuang di dalam Pasal 33 Ayat (2) dan (3).

“Harus revisi undang-undang. Karena (kalau tidak direvisi) ada perbedaan-perbedaan dari sisi undang-undang. Pasti aspek legalitasnya harus dikaji betul, disamping sisi ekonomi, dan lainnya,” jelas David.

“Gak bisa sembarangan. Perlu beberapa waktu menurut saya untuk finalisasi itu,” kata David lagi.

Di sisi lain, Direktur Eksekutif Segara Institute Piter Abdullah memandang, peraturan DHE semestinya bisa dilakukan sederhana. Namun, masih ada ‘keraguan’ dari pemerintah dan BI.

“Pengaturan DHE sebenarnya tidak kompleks. Bisa sederhana. Saya melihat pemerintah dan BI masih terlalu mempertimbangkan, yang akhirnya justru membuatnya kompleks,” jelas Piter.

Piter menilai, pemerintah sudah harus tahu konsekuensinya. Mewajibkan para eksportir parkir dolar di dalam negeri selama periode waktu tertentu, artinya harus mempersiapkan berbagai ketentuan turunan, agar ketentuan tersebut bisa efektif.

Perlu juga, menurut Piter para eksportir tidak hanya memarkirkan dolarnya, tapi juga harus dikonversi ke rupiah. Juga, tidak ada salahnya menerapkan sanksi bagi para eksportir nakal yang tidak taat aturan.

“Memikirkan insentif agar mereka patuh dan sanksi bagi mereka yang tetap tidak mau mematuhi,” ujarnya.

“Harus dipikirkan juga bagaimana membuat DHE itu bisa lebih lama stay di Indonesia. Dan lebih penting lagi apa insentif agar para eksportir juga mau menukarkan DHE-nya ke rupiah,” kata Piter melanjutkan.

Sebelumnya, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kemenkeu menjelaskan, sejak 2021 hingga 2022, ada 216 eksportir yang tidak menempatkan DHE SDA di rekening khusus di dalam negeri.

Akibat hal tersebut, mereka wajib membayar denda administratif dengan perhitungan 0,5% dari DHE yang belum ditempatkan di Indonesia.

Tercatat, total sanksi DHE SDA yang dihimpun DJBC mencapai Rp 53 miliar. Denda tersebut langsung masuk sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Dari aturan yang ada selama ini, terdapat dua jenis pelanggaran sanksi administratif bagi eksportir yang tidak melaporkan DHE-nya di dalam negeri.

Jenis pelanggaran pertama, yakni bagi eksportir yang tidak menempatkan DHE di rekening khusus. Perhitungannya, mereka harus membayar 0,5% dari DHE SDA yang belum ditempatkan.

Jenis pelanggaran kedua, yaitu menggunakan DHE SDA di luar ketentuan penggunaan. Ketentuan penggunaan DHE yang dimaksud, seperti untuk transaksi bea keluar atau penggunaan ekspor lainnya, pinjaman, impor, keuntungan/dividen, atau keperluan lain dari penanaman modal.

Perhitungan untuk jenis pelarangan penggunaan DHE di luar ketentuan adalah 0,25% dari DHE SDA yang digunakan di luar ketentuan.

Sumber : www.cnbcindonesia.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only