Perpajakan Amerika Serikat (AS) telah jauh lebih maju. Internal Revenue Service (IRS) sebagai lembaga pemerintah AS yang bertanggung jawab atas pemungutan dan penegakan hukum pajak, setiap tahunnya mampu mengumpulkan US$ 4,1 triliun. Ini setara dengan 96% dari penerimaan kotor negara tersebut (Troy Segal, 2022).
Kemampuan IRS sebagai lembaga yang independen dan disegani hingga mampu menjadi penyangga utama keuangan negara, tak dapat dipungkiri karena adanya dukungan sistem terintegrasi yang mumpuni. Salah satunya adalah Social Security Number (SSN). SSN telah lama menjadi njukan identitas di negara Paman Sam tersebut.
Sementara di Indonesia, kita mengenal Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) sebagai identitas untuk melakukan kewajiban perpajakan. Namun, NPWP belum setara jika disandingkan dengan SSN. Penyebabnya adalah belum terintegrasinya data di Indonesia.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai tulang punggung pembiayaan negara belum optimal dalam mengumpulkan penerimaan pajak. Ini dapat dilihat dari rasio pajak Indonesia. Rasio pajak adalah perbandingan atau persentase pe- nerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB).
Rasio pajak terhadap PDB Indonesia sebesar 10,4% pada 2022. Masih tertinggal dibandingkan beberapa negara ASEAN seperti Thailand sebesar 14,5%, Filipina sebesar 14%, dan Singapura sebesar 12,9%. Meski rasio pajak Indonesia mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2021 sebesar 9,11 % (Kontan, 2022). Salah satu penyebab masih rendahnya rasio pajak Indonesia ditengarai karena masih tingginya sektor informal dalam perekonomian Indonesia.
Karena itu, pemerintah mengambil langkah progresif dengan menyinkronkan data DJP dan Ditjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri ke dalam satu sistem terintegrasi. Dengan mengintegrasikan Nomor Induk Kependudukan (NIK) menjadi NPWP.
Klausul tentang integrasi NIK menjadi NPWP telah diatur dalam Pasal 2 ayat (la) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 112/PMK.03/2022.
Bahwa setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai ketentuan perpajakan, wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan kepadanya diberikan NPWP.
Paling lambat tanggal 31 Desember 2023 seluruh Wajib Pajak harus melakukan validasi NIK sebagai NPWP, karena mulai 1 Januari 2024 seluruh transaksi pajak akan menggunakan NIK. Proses validasi dapat dilakukan melalui DJP Online tanpa harus ke kantor pajak. NPWP bagi Wajib Pajak orang pribadi penduduk Indonesia menggunakan NIK.
Indonesia dapat belajar dari langkah-langkah yang telah dilakukan AS untuk memperkuat basis data, sehingga menjadikan IRS lembaga yang kuat dan disegani.
SSN versus NPWP
Menurut Carolyn Puckett dalam The Story of the Social Security Number (2009), pada 1936 ketika pemerintah AS memutuskan menggunakan SSN, awalnya untuk melacak riwayat pendapatan pekerja AS terkait hak jaminan sosial dan penghitungan tunjangan mereka. Kini, kebutuhan penduduk AS untuk memiliki SSN hampir universal. SSN menjadi nomor yang ditetapkan sejak lahir dan digunakan banyak lembaga pemerintah untuk pengidentifikasi individu dan industri swasta untuk melacak sejarah keuangan individu.
Sebagai gambaran, tak cuma IRS yang memanfaatkan SSN dalam pelaksanaan tugas keseharian. Legislasi AS mensyaratkan penggunaan SSN antara lain untuk Imigrasi, pembuatan SIM, pembelian obligasi tabungan Seri H, penerima manfaat program negara, dan kegiatan perdagangan atau bisnis dengan transaksi tunai di atas $10.000, dll.
Keberadaan SSN membuat IRS mampu memetakan potensi dan mengumpulkan pajak yang signifikan setiap tahunnya. Bagaimana dengan Indonesia? Meskipun universalitas NPWP belum sekuat SSN, namun pemerintah Indonesia telah selangkah lebih maju dengan integrasi NIK dan NPWP.
Langkah awal
Sinkronisasi NIK menjadi NPWP diprediksi akan meningkatkan kepatuhan pajak dan mengurangi informalitas di Indonesia. Makna informalitas sendiri dijelaskan para ahli ekonomi Bank Dunia dalam Informality Exit and Exclution. Satu cirinya adalah masih banyak pekerja yang tidak terlindungi ataupun pekerja “di bawah tanah” atau bayang-bayang (shadow economy).
Mereka tidak terdokumentasi dalam sistem negara, sehingga dapat dipastikan tidak melakukan kewajiban perpajakannya. Imbasnya adalah mereka tidak memperoleh perlindungan dan jaminan sosial dari negara.
Menurut data PPATK, saat ini perekonomian Indonesia sangat terbebani dengan shadow economy yang diperkirakan sebesar 8,3% hingga 10% dari PDB. Sebagai gambaran, jika menurut Badan Pusat Statistik (BPS) PDB Indonesia pada triwulan II tahun 2021 kisaran Rp 4.175 triliun, maka shadow economy mencapai Rp 417,5 triliun.
Apakah integrasi NIK dan NPWP akan mampu meningkatkan kepatuhan pajak dan memupus shadow economy? Integrasi NIK dan NPWP adalah satu langkah awal untuk menciptakan tatanan ekonomi modern yang menjadi tujuan negara. Pemerintah Indonesia harus meneruskan langkah-langkah berkesinambungan untuk membasmi shadow economy.
Pertama. Meningkatkan universalitas NPWP di Indonesia. Karena itu diperlukan sinergi dengan instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain (ILAP) yang lebih luas lagi, sesuai amanah Pasal 35A UU Ketentuan Umum Peerpajakan (KUP) sebagaimana terakhir diubah dengan UU Nomor 7 tahun 2021. Bahwa setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain wajib memberikan data dan informasi kepada DJP.
Pekerjaan rumah DJP masih banyak. Jika integrasi NIK dan NPWP akan memudahkan DJP mendokumentasikan pekerja Warga Negara Indonesia (WNI), bagaimana halnya dengan pekerja Warga Negara Asing (WNA) yang ada di Indonesia? Menjadi tugas DJP dan Ditjen Imigrasi K untuk berembuk bersama menyinkronkan data dalam satu sistem terintegrasi. Sehingga lebih mudah bagi DJP memantau pekerja asing yang keluar masuk Indonesia.
Tidak terintegrasinya data DJP dan Ditjen Imigrasi, telah mengakibatkan kerugian negara. Pada 2017, Kementerian Ketenagakerjaan mencatat terdapat 74.143 pekerja ilegal yang melakukan pemalsuan dokumen, penggunaan visa turis ataupun wisata untuk bekerja di Indonesia.
Bahkan, di beberapa wilayah mereka tidak didampingi tenaga kerja lokal. Sementara tingkat pengangguran di Indonesia menurut BPS diperkirakan mencapai 8,42 juta orang per Agustus 2022.
Kedua. Pemerintah harus menjamin kerahasiaan data pribadi milik warganya. Jadi, tujuan melakukan sinkronisasi NIK dan NPWP untuk memudahkan dan meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak, dapat tercapai.
Sumber : Harian Kontan 8 Juni Halaman 2
Leave a Reply