PPN Barang Setengah Jadi Bisa Gerus Daya Saing

Komisi VII DPR meminta pemerintah mencabut PPN untuk produk barang tambang setengah jadi

Pemerintah sudah menjalankan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 11%. Namun Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI meminta Kementerian Keuangan (Kemkeu) meninjau pengenaan PPN 11% untuk produk pengolahan setengah jadi seperti stainless steel (nikel) dan ingot (timah).

Memang dalam daftar barang dan jasa yang tidak terkena PPN, produk pengolahan setengah jadi tidak masuk dalam daftar yang kerap disebut negative list itu (lihat tabel).

Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto menilai pengenaan PPN 11% pada produk pengolahan setengah jadi (intermediat) dari nikel menjadi stainless steel atau dari timah menjadi ingot (batang logam) tidak adil. Maka dia meminta pemerintah mengusulkan peninjauan atas pengenaan PPN sebesar 11% pada produk pengolahan setengah jadi tersebut. Tujuannya adalah untuk mendorong industri pengolahan lanjutan semakin kompetitif.

“Ini dikeluhkan industri dalam negeri yang mau memakai produk turunan dari nikel. Sementara untuk ekspor justru tidak dikenakan 11%. Daya saing barang dalam negeri jadi lebih mahal 11%,” ujar Sugeng dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP), belum lama ini.

Sementara itu, Anggota Komisi VII DPR RI Fraksi Golkar, Bambang Patijaya mengingatkan persoalan regulasi yang tidak tepat sasaran akan menjadi penghambat investasi pengembangan industri lanjutan di Indonesia.

Pengenaan PPN bagi produk setengah jadi menghambat investasi.

Dia bilang, selama ini calon investor berpikir ulang sebelum berinvestasi di Indonesia karena produk pengolahan setengah jadi terkena PPN 11%. Sebaliknya, ekspor produk pengolahan setengah jadi justru dibebaskan pengenaan PPN.

Seharusnya pengenaan PPN itu disematkan bagi produk akhir dan bukan diterapkan untuk produk atau barang setengah jadi atau untuk bahan pengolahan lanjutan. “Jadi PPN itu harus dipungut di ujung,” ucap dia.

Direktur Institute for Demographic and Poverty Studi es (Ideas) Yusuf Wibisono juga mempertanyakan kebijakan tersebut. Dia menilai kebijakan itu hanya akan me lemahkan daya saing industri dalam negeri dan justru memperkuat daya saing industri negara lain yang memanfaatkan kebijakan yang ada.

“Kebijakan pengenaan PPN pada transaksi barang setengah jadi sebenarnya sudah lama dikeluhkan dunia usaha dan menjadi semakin kuat disuarakan pasca kenaikan tarif PPN menjadi 11% tahun lalu,” kata dia kepada KONTAN, Minggu (25/6).

Menurut Yusuf, industri hilir nikel seperti baja nirkarat dan industri hilir timah seperti timah batangan saat ini tidak kompetitif lantaran bahan baku dikenai PPN 11%.

Pengganti PPN

Hanya saja, anggota Bidang Kajian Akuntansi dan Perpajakan Asosiasi Emiten Indonesia (AEI) Ajib Hamdani menilai pengenaan PPN atas produk pengolahan setengah jadi masih relevan diterapkan saat ini. Hal itu karena ketika PPN dikenakan terhadap barang setengah jadi, maka kebijakan ini justru akan menjadi pengurang dari nilai PPN atas barang jadinya. “Jadi, konsep pengenaan pajak ini tetap relevan. Kalau ingin kesederhanaan pengenaan, bisa diusulkan PPN diganti dengan gross sales tax, misalnya dengan tarif 2%,” kata dia kepada KONTAN, kemarin.

Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan, apabila produk pengolahan setengah jadi tersebut dibebaskan dari PPN, maka produsen atau perusahaan tidak bisa mengkreditkan pajak masuknya. Sehingga justru yang terjadi adalah pengusaha bakal mendapatkan tambahan beban biaya produksi. “Fasilitas PPN akan mengurangi beban pajaknya jika diberikan pada produk konsumsi akhir, bukan barang konsumsi setengah,” kata dia.

Sumber : Harian Kontan 26 Juni 2023 Halaman 2

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only