Pemerintah diminta segera mengantisipasi penurunan ekspor di sektor manufaktur.
Penurunan impor bahan baku dan barang modal indikasikan perlambatan sektor riil.
JAKARTA – Surplus neraca perdagangan Indonesia pada September 2018 dinilai tidak berkualitas karena tidak menggambarkan kenaikan kinerja ekspor. Surplus tersebut lebih banyak disebabkan oleh penurunan impor yang lebih tajam dibandingkan dengan penurunan ekspor.
Sementara itu, surplus perdagangan tersebut belum mampu menyulut sentimen positif bagi pergerakan rupiah. Bahkan, nilai tukar rupiah ditutup melemah pada akhir perdagangan Senin (15/10).
Berdasarkan data Bloomberg, mata uang RI itu di pasar spot ditutup melemah 23 poin atau 0,15 persen di level 15.220 rupiah per dollar AS, setelah mampu menguat 38 poin (0,25 persen) menjadi 15.197 rupiah per dollar AS pada Jumat (12/10).
Menanggapi kinerja perdagangan itu, Direktur Eksekutif Indef, Enny Sri Hartati, mengungkapkan neraca perdagangan pada September 2018 sesungguhnya surplus bukan karena kinerja ekspor yang baik. Sebab, nilai ekspornya turun 6,58 persen dibandingkan bulan sebelumnya. “Walaupun masih naik dibanding September 2017, tapi secara NTM (non-tariff measures) turun dari bulan sebelumnya,” papar dia, di Jakarta, Senin.
Sementara itu, nilai impor mengalami penurunan yang jauh lebih besar, baik impor minyak dan gas (migas), terutama minyak olahan, dan non-migas. Menurut Enny, penurunan impor yang mencapai 13,18 persen tersebut kemungkinan karena kontribusi dari program biofuel atau siklus puasa.
“Jadi wajar, kalau habis impor minyak tinggi stoknya meningkat. Jadi ini siklus normal saja,” kata dia. Menurut Enny, penurunan impor berhubungan erat dengan depresiasi nilai tukar rupiah. Sebab, pelemahan rupiah membuat harga barang impor lebih mahal.
“Tapi, ini harus diingat, seluruh komponen impor mengalami penurunan, baik bahan baku maupun barang modal dan juga konsumsi,” papar dia. Artinya, jika yang menurun hanya impor barang konsumsi, itu benar karena depresiasi nilai tukar sehingga harga barang jadi lebih mahal.
Namun, bila yang menurun impor bahan baku dan barang modal, berarti mengindikasikan terjadinya perlambatan kinerja sektor riil. Badan Pusat Statistik (BPS) mengemukakan neraca perdagangan September 2018 mencatat surplus, setelah defisit berturut- turut sejak Juli lalu. Secara keseluruhan ekspor September 2018 mencapai 14,83 miliar dollar AS atau tumbuh 1,7 persen (year-on-year/yoy).
Di sisi lain, impor mencapai 14,60 miliar dollar AS atau tumbuh 14,18 persen (yoy). Dengan demikian, neraca perdagangan secara bulanan surplus sebesar 230 juta dollar AS. Sedangkan bulan lalu mencatat defisit 1,02 miliar dollar AS. Meskipun surplus, dari sektor migas masih mencatat defisit sebesar 9,37 miliar dollar AS sejak Januari lalu.
Jumlah ini naik signifikan dibandingkan capaian di periode serupa tahun lalu, yang mencapai 5,87 miliar dollar AS. “Secara kumulatif, migas defisit 9,37 miliar dollar AS dan non-migas surplus 5,5 miliar dollar AS,” ujar Deputi Statistik Distribusi dan Jasa BPS, Yunia Rusanti, Senin.
Secara keseluruhan, defisit neraca migas Januari–September 2018 naik 59 persen dibandingkan periode sama 2017. Pada Agustus 2018, BPS mencatat impor migas mencapai 2,28 miliar dollar AS, sedangkan ekspor sebesar 1,21 miliar, sehingga neraca migas tercatat defisit 1,07 miliar dollar AS.
Belum Berdampak
Sementara itu, ekonom Universitas Atmajaya Yogyakarta (UAJY), A Gunadi Brata, mengatakan pemerintah tidak bisa membanggakan surplus perdagangan September 2018 karena hal itu ditopang oleh penurunan ekspor yang jauh lebih rendah dibandingkan impor.
Penurunan ekspor itu didominasi oleh menyusutnya ekspor di sektor manufaktur sebesar 7,78 persen, padahal sektor tersebut mengambil porsi 73,3 persen dari total ekspor.
Artinya, secara teknis paket kebijakan ekonomi belum terasa dampaknya. Gunadi mengatakan apresiasi dollar AS dan penaikan tarif Pajak Penghasilan (PPh) impor langsung berdampak pada penurunan impor.
Sumber: koran-jakarta.com
Leave a Reply