Saran Indef ke Pemerintah agar UMKM Tembus Pasar Ekspor

Jakarta – Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai pemerintah perlu lebih mendorong Usaha Mikro, Kecil dan Menengah atau UMKM untuk masuk pasar ekspor. Hal tersebut juga, kata Bhima ke depannya bisa untuk menekan defisit transaksi berjalan (CAD).

“Berikan pendampingan ke UMKM terutama market intelligence untuk masuk pasar ekspor,” kata Bhima saat dihubungi, Ahad, 11 November 2018.

Menurut Bhima untuk mendorong ekspor juga perlu mengefektifkan pemberian kredit usaha rakyat berorientasi ekspor (KURBE) dengan menggandeng lembaga keuangan mikro, misalnya koperasi.

Bhima mengatakan pemerintah juga perlu mendorong BUMN sebagai agregator produk UMKM. “Sehingga kualitas, biaya logistik bisa diawasi,” ujar Bhima.

Lebih lanjut Bhima mengatakan solusi menekan CAD dengan pengendalian impor 10 barang terbesar lewat kenaikan bea masuk dan kebijakan anti dumping. Contohnya adalah impor besi baja Cina. Menurut Bhima dari data The Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA) saat ini baja impor bisa lebih murah 20-30 persen dibanding baja lokal.

Upaya selanjutnya, kata Bhima dengan memberikan insentif yang lebih besar dan jaminan kurs preferensial kepada pengusaha agar segera konversi devisa hasil ekspor (DHE) ke rupiah. Menurut Bhima juga perlu mengurangi pungutan ekspor untuk CPO.

“Minyak sawit penyumbang devisa non migas terbesar. Adanya hambatan bea masuk ke India jadi persoalan yang buat kinerja ekspor CPO tidak optimal. Jika pungutan ekspor di turunkan 30 persen maka ekspor minyak sawit diestimasi naik 4,64 persen, dari studi indef,” kata Bhima.

Bhima menilai juga perlu menghapus ppn ekspor jasa 10 persen menjadi 0 persen khususnya dijasa profesional, IT, dan pariwisata. Hal itu, kata Bhima akan bantu masuknya devisa dri sektor jasa. “Selama ini hanya 3 ekspor jasa yang dikenakan tarif 0 persen. 88 negara di dunia dari 120 negara sudah menerapkan tarif ekspor jasa 0 persen. Kalau tidak segera menyesuaikan kita akan kehilangan peluang ekspor jasa,” ujar Bhima.

Bank Indonesia mengumumkan kenaikan defisit transaksi berjalan pada triwulan III 2018 menjadi US$ 8,8 miliar atau 3,37 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka tersebut lebih tinggi ketimbang triwulan sebelumnya yang sebesar US$ 8 miliar atau 3,02 persen PDB. “Defisit neraca transaksi berjalan pada triwulan III 2018 meningkat sejalan dengan menguatnya permintaan domestik,” ujar Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Agusman dalam keterangan tertulis, Jumat, 9 November 2018.

Dengan kenaikan angka tersebut, kata Agusman secara kumulatif hingga triwulan III CAD tercatat 2,86 persen PDB alias masih berada dalam batas aman.

Sumber : tempo.co

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only