Jakarta – Pergerakan nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Senin sore, melemah sebesar 167 poin menjadi Rp14.835 dibandingkan posisi sebelumnya Rp14.668 per dolar AS. Kepala Riset Monex Investindo Futures Ariston Tjendra di Jakarta, Senin (12/11) mengatakan dolar AS cenderung bergerak naik terhadap mayoritas mata uang dunia, termasuk rupiah di tengah keyakinan pelaku pasar uang terhadap data inflasi Amerika Serikat yang akan naik.
“Data inflasi Amerika Serikat akan dirilis pada pekan ini, diperkirakan menunjukkan kenaikan seiring meningkatnya harga konsumen AS pada bulan Oktober,” katanya. Ia menambahkan meningkatnya inflasi maka peluang bagi the Fed untuk menaikan suku bunganya akan cukup terbuka. Apalagi, the Fed pada awal bulan ini juga telah menyampaikan normalisasi kebijakan suku bunga masih dalam jalurnya.
“Pergerakan dolar AS cukup solid karena outlook kenaikan suku bunga AS dan data ekonomi AS yang optimis,” katanya. Kendati demikian, menurut dia, penguatan dolar AS masih relatif terbatas terkendala Pemilu Sela Amerika Serikat yang hasilnya menimbulkan kemungkinan perubahan peta politik, dimana Partai Demokrat memenangi suara dalam DPR AS. “Agenda legislatif Presiden AS Donald Trump dapat terhambat di parlemen,” katanya.
Sementara itu, pengamat pasar uang Bank Woori Saudara Indonesia Tbk Rully Nova mengatakan pelemahan nilai tukar rupiah masih relatif wajar setelah sempat menguat hingga menyentuh level Rp14.400-an per dolar AS. “Pergerakan rupiah dalam hariannya akan bervariasi seiring sentimen yang beredar di pasar. Data ekonomi nasional yang masih cukup baik masih menjaga kepercayaan pasar sehingga pelemahannya tidak lebih dalam,” katanya. Sementara itu, kurs tengah Bank Indonesia pada hari ini (12/11), tercatat mata uang rupiah melemah menjadi Rp14.747 dibanding sebelumnya (9/10) di posisi Rp14.632 per dolar AS.
Bank Indonesia (BI) menegaskan faktor utama pelemahan rupiah dikarenakan perlambatan ekonomi di China. “Pelemahan bukan karena faktor Current Account, tapi karena dinamika global,” kata Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI Nanang Hendarsah, seperti dikutip CNBC Indonesia. “Pelemahan Rupiah hari ini sejalan dengan melemahnya seluruh mata uang regional, dipicu sentiment negatif atas indikasi pelemahan ekonomi China dan reaksi pemerintah Italia yang belum akan melakukan penyesuaian budget plan sesuai dengan permintaan Uni Eropa,” jelasnya.
“Kesemuanya mememicu pelepasan saham mulai dari pasar modal AS ke pasar Asia, aksi beli surat obligasi pemerintah AS sebagai instrument yang aman (flight to quality), dan menurunnya harga komoditas,” imbuh Nanang. Menurutnya sampai siang hari ini, BI melihat terjadi outflow atau dana keluar dari pasar Surat Berharga Negara (SBN). “Namun masih kecil,” tutur Nanang.
Mengutip Reuters, Menteri Keuangan China Liu Kun mengatakan pemerintah akan memberikan stimulus pajak untuk menggairahkan dunia usaha Negeri Tirai Bambu. Bentuknya adalah pengurangan tarif Pajak Penghasilan (PPh) badan dan kewajiban perpajakan bagi eksportir. Pelaku usaha China memang sedang lesu. Ini terlihat dari dua data teranyar yaitu inflasi di tingkat grosir (Producer Price Index/PPI) dan penjualan mobil.
Inflasi tingkat produsen di China pada Oktober 2018 tercatat 3,3% secara tahunan, melambat dibandingkan pencapaian bulan sebelumnya yaitu 3,6%. Kemudian penjualan mobil pada Oktober 2018 turun 11,7% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Penurunan ini terjadi dalam 4 bulan berturut-turut. Bahkan penurunan Oktober 2018 menjadi yang terdalam sejak Januari 2012.
Sumber: neraca.co.id
Leave a Reply