Prabowo sebut rasio pajak orde baru 16%, benarkah?

JAKARTA. Calon presiden nomor urut 2 Prabowo Subianto mengkritik tax ratio, atau rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto saat ini yang masih di bawah 11%.

Dia mengatakan, tax ratio Indonesia saat ini lebih rendah dibandingkan era Orde Baru yang bisa sebesar 14%-16%. Hal itu disampaikannya saat pidato di Indonesia Economic Forum di Shangrilla Hotel, Rabu, 21 November 2018.

Namun menurut Direktur Eksekutif Center of Indonesian Tax Analysis (CITA) Yustinus Prastowo, tax ratio era Orde Baru (kurun 1990-1998) dan sebelumnya, tak pernah lebih tinggi daripada tax ratio selama era Reformasi.

Sebelum ke data, ada baiknya memahami lebih dulu tax ratio. Yustinus membagi tax ratio dalam dua arti yakni arti sempit dan luas. Dalam arti sempit, tax ratio adalah rasio penerimaan pajak yang hanya dikumpulkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP), terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Sementara dalam arti luas, tax ratio adalah rasio penerimaan pajak ditambah penerimaan bea cukai dan Penerimaan Negara Bukan Pajak sumbardaya alam (SDA). Artinya penerimaan negara yang tidak hanya berasal dari DJP.

Nah, dalam arti sempit, Yustinus mengatakan bahwa tax ratio  era Orde Baru tak pernah lebih besar dari era Reformasi. Ia sendiri sudah melakukan riset terhadap nota keuangan dan APBN.

“Bahkan lebih rendah dibanding tax ratio 2017 (arti sempit). Ingin mencapai 16 persen tentu sah dan baik, tapi tanpa peta jalan dan strategi yang tepat, justru berpotensi menciptakan ketidakadilan baru,” ujarnya Sabtu (24/11).

Dalam arti sempit, tax ratio RI  tahun 2012 mencapai 9,70%, kemudian 9,65% (2013), 9,32 persen (2014), 9,19% (2015), 8,91% (2016), dan 8,47% (2017).

Adapun tax ratio pada tahun 2005 tax ratio mencapai 10,76% dan tahun 2001 sebesar 9,63%. Sementara itu dari hasil pelacakan dari Nota Keuangan dan APBN (Kemenkeu), tax ratio 1990-1998 berturut-turut sebesar 6,19% (1990), 6,72% (1991), 7,31% (1992), 7,30% (1993), 7,68 persen (1994), 8,20% (1995), 7,86% (1996), 8,03% (1997), dan 6,05% (1998).

Ditarik mundur lebih ke belakang, tax ratio Indonesia pada 1972 mencapai 7,33%, kemudian 6,70% (1980), dan 5,25% (1984). Arti luas Adapun dalam arti luas, data tax ratio era Orde Baru dinilai masih samar.

Menurut dia, perhitungan tax ratio dalam arti luas baru dimulai pasca Reformasi. Oleh karena itulah perhitungan tax ratio saat ini lebih dalam arti luas sehingga persentasenya lebih besar dari tax ratio arti sempit. Sebab tak hanya sebatas penerimaan pajak DJP, namun juga Bea Cukai dan PNBP SDA.

Formula ini sering dipakai untuk mengukur kinerja pemungutan pajak. Meski demikian kata dia, tax ratio bukanlah satu-satunya alat ukur bagi kinerja institusi pemungut pajak. Lantaran ada beberapa faktor dan kondisi yang perlu diperiksa dan dibandingkan.

Misalnya, besaran insentif pajak, besarnya sektor informal (underground economy) hingga insentif untuk menghindari pajak.

Oleh karena itulah Yustinus turut mempertanyakan data siapa yang dipakai oleh Prabowo untuk merujuk tax ratio Orde Baru 14%-16%. Sebab bila mengacu kepada data tax ratio dalam arti sempit, maka dia menilai sulit untuk mencapai angka 14%-16%. Demikian juga tax ratio dalam arti luas.

“Tidak mungkin pendapatan cukai dan PNBP SDA sampai 6%-7% karena waktu itu pajak hanya 8%-9% persen saja,” kata dia. Lagi pula kata Yustinus, bila tax ratio Indonesia sudah 14%-16% pada era Orde Baru, maka Indonesia tak perlu melakukan reformasi pajak 2001. Namun kenyataanya reformasi dilakukan, salah satu tujuannya yakni meningkatkan tax ratio.

Sumber Kontan

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only