Jalan Lempeng Mengejar Sang Pemilik Usaha

Dalam sebuah kasus, penyidik kerap dibuat bingung saat mencari oknum yang paling bertanggung jawab dalam praktik tindak pidana atau kejahatan yang melibatkan korporasi.

Tak jarang, penyidikan berakhir mentok, dan hanya menyeret beberapa oknum yang ‘tercantum’ dalam struktur resmi suatu perusahaan atau legal ownership.

Padahal, dalam catatan Bisnis, baik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun Direktorat Jenderal Pajak telah berulang kali mengungkap kasus yang ditengarai melibatkan korporasi besar dan secara tidak langsung mengindikasikan keterlibatan para pemilik sebenarnya ( beneficial ownership ).

Kasus raksasa properti terkait dengan suap reklamasi Teluk Jakarta, misalnya. Kasus itu menyeret nama-nama beken yang ditengarai terlibat dan turut mengatur proses pembahasan landasan hukum yang dibuat untuk pelaksanaan proyek. Para penerima manfaat digembar-gemborkan akan turut disasar. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, kasus itu mandek dan hanya sampai di level presiden direktur.

Kesulitan dalam pengungkapan para penerima manfaat dari transaksi di sebuah korporasi memang tak bisa dihindarkan.

Apalagi dalam praktiknya, para pelaku baik itu koruptor maupun pengemplang pajak memiliki cara yang cukup canggih, misalnya dengan melibatkan pihak ketiga untuk menghindar dan menyembunyikan pemufakatan jahat dari kejaran aparat penegak hukum ataupun penyidik perpajakan.

Dalam konteks pajak, kasus yang bisa menunjukkan kelihaian para benefi cial owner atau penerima manfaat ketika menghindar dari kewajiban perpajakan pernah diungkap oleh International Consortium of Investigative Journalist atau ICIJ dalam laporan yang kemudian dikenal dengan nama Panama Papers.

Seperti diketahui, dalam laporan itu, para pengemplang pajak dengan mudah menyimpan hartanya dengan membuat perusahaan cangkang di negara-negara suaka pajak ( tax haven ).

Nama-nama pejabat, pengusaha, tersangka korupsi, hingga petinggi di lembaga pemeriksa keuangan asal Indonesia, juga sempat disebut dalam laporan itu. Modus yang digunakan untuk menghindar dari aparat atau penyidik pajak cukup jamak, biasanya dengan melibatkan anggota keluarga atau orang terdekat mereka.

Tak heran, jika sebelum era transparansi, pemerintah sangat sulit mengidentifi kasi harta-harta milik WNI di luar negeri. Padahal, jumlah harta milik wajib pajak asal Indonesia yang tersimpan di luar negeri cukup fantastis.

Kementerian Keuangan pernah menyebutkan ada belasan ribu triliun dana yang tersimpan di luar negeri, sementara riset dari McKinsey menyebutkan setidaknya US$250 miliar dana milik WNI di luar negeri.

“Belum tentu juga mereka belum lapor, bisa saja mereka telah melaporkannya,” ungkap Direktur Penegakan Hukum Ditjen Pajak Yuli Kristiyono kepada Bisnis, Rabu (3/7).

Kendati demikian, Yuli mengungkapkan bahwa seiring dengan tren global yang bergerak ke arah keterbukaan, modus-modus para penjahat di bidang perpajakan mulai teridentifi kasi dengan penerapan Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 tentang Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Terorisme.

Apalagi dalam salah satu ketentuan beleid itu, ada kewajiban keterbukaan bagi sebuah korporasi untuk melaporkan penerima manfaatnya. Bagian pertama aturan ini misalnya menjelaskan korporasi yang wajib menyampaikan identitas benefi cial owner -nya kepada instansi yang berwenang mencakup perseroan terbatas, yayasan, perkumpulan, koperasi, persekutuan komanditer, fi rma, dan bentuk korporasi lainnya.

Kemarin, Kemenkumham bersama dengan Kemenkeu, Kementerian ESDM, Kementerian Pertanian, Kementerian Koperasi dan UKM, serta Kementerian ATR/BPN menandatangani MoU tentang penguatan dan pemanfaatan basis data pemilik manfaat atau benefi cial ownership dalam rangka pencegahan tidak pidana bagi korporasi.

Penandatanganan ini merupakan kelanjutan dari strategi pencegahan dan pemberantasan korupsi sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 54/2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi.

Melalui MoU ini, akses data informasi terkait BO baik untuk kepentingan penegakan hukum pidana perpajakan maupun tindak pidana korupsi, menjadi lebih mudah.

Dengan terbukanya data benefi cial owner, akses bagi otoritas pajak makin luas. Pasalnya, data yang bakal digunakan oleh otoritas pajak untuk memburu para pengemplang pajak tidak hanya berupa data perpajakan, tetapi juga data-data yang terkait dengan para penerimaa manfaat yang berada di tangan Ditjen Administrasi Hukum Umum (AHU) Kemenkumham.

Artinya, melalui mekanisme baru itu, terutama karena adanya inte grasi data terkait penerima manfaat, otoritas pajak bisa langsung bergerak cepat dalam menelusuri pihak-pihak atau orang yang secara tidak langsung ber tang gung jawab atas suatu tindak pida na perpajakan. “Sekarang jadi lebih cepat, karena nanti perusahaan itu wajib mela porkan pemilik sebenarnya ke pemerintah.”

PIDANA KORPORASI

Di sisi lain, pengungkapan keterlibatan para penerima manfaat atau BO tersebut juga akan semakin memudahkan otoritas pajak untuk menelusuri praktik-praktik kejatahan perpajakan yang melibatkan korporasi.

Dalam ranah hukum, pidana korporasi masih sebatas diterapkan oleh pidana khusus (korupsi) baik yang dilakukan oleh KPK maupun Kejaksaan Agung. Dasar pemidanaan korporasi tersebut tertuang dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No.13 Tahun 2016.

Perma tersebut menegaskan bahwa korporasi dapat menjadi subyek hukum atau bertanggung jawab atas perbuatan pidana jika suatu korporasi menerima keuntungan dari suatu tindak pidana, membiarkan suatu tindak pidana, atau tidak melakukan pencegahan ketika suatu tindak pidana dilakukan.

Sanksi yang dijatuhkan tak main-main. Jika korporasi yang sudah diputus bersalah dan tidak membayar denda, aset-aset milik korporasi bisa disita oleh negara.

Dalam ranah perpajakan, pemidanaan korporasi bukannya tanpa perdebatan. Dalam draf RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pemerintah memperluas defi nisi subyek pidana pajak. Jika dalam UU KUP existing, subyek pidana pajak hanya terbatas pada perorangan, dalam aturan draf UU KUP, subyek pidana pajak juga bisa mencakup korporasi. Artinya, korporasi bisa ditempatkan sebagai pelaku kejahatan perpajakan.

Otoritas pajak tak memungkiri, pemidanaan korporasi memang belum menjadi hal yang lazim dalam ranah perpajakan. Akan tetapi, Ditjen Pajak bukannya tanpa cara, untuk menelusuri praktik kejahatan yang melibatkan korporasi, konsep follow the money yang diterapkan dalam tindak pidana pencucian uang (TPPU) menjadi salah satu cara untuk membongkar keterlibatan korporasi dalam tindak pidana perpajakan.

“Saat kita menyidik perkara pajak badan akan mencari perorangan, tetapi jika lari ke TPPU itu juga akan berbi- cara mengenai korporasi juga,” kata Yuli.

Namun di lain pihak, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M. Syarief juga meminta transparansi benefi cial ownership dan pemidanaan korporasi tidak dimaksudkan untuk menghukum dunia usaha. Upaya pemidanaan korporasi justru dimaksudkan untuk melindungi dunia usaha, bahkan menurutnya sistem transparansi keuangan yang sedang berlangsung perlu ditingkatkan supaya mendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

“Jadi jangan sampai ditulis hati-hati semua dunia usaha Indonesia. Ini tujuannya untuk kebajikan semua bersama,” tegasnya.

Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia Dadang Trisasongko, dalam kajiannya belum lama ini juga mengungkapkan, Perpres No.13/2018 [serta tiga aturan teknis yang akan diterbitkan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia] menilai penerbitan regulasi ini merupakan capaian yang layak untuk diapresiasi. Namun demikian pemerintah tetap memerlukan langkah yang lebih konkret untuk merespon tantangan yang besar.

“Kita melihat perusahaan cangkang telah disalahgunakan untuk kejahatan terutama korupsi lintas negara. Penguatan tranparency & beneficial owner ship harus jelas mencegah para penjahat korup dan lainnya,” ungkapnya.

Sumber : Bisnis.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only